Seorang filsuf besar Indonesia, Dr. Driyarkara pernah menuliskan bahwa manusia memaknai dunianya. Kemampuan manusia memaknai dunia inilah yang membedakan manusia yang satu dengan yang lain.Â
Pendidikan dilaksanakan dalam rangka mengembangkan kemampuan dirinya memaknai dunianya, dan itulah yang disebut memanusiakan manusia. Memaknai sangat ditentukan oleh cara berpikir yang digunakan seseorang.Â
Dalam wacana ilmiah kita mengenal cara berpikir linear dan cara berpikir sistem (systems thinking). Cara berpikir pertama sangat reduksionis, menyederhanakan sebuah jaringan kedalam sebuah bagian yang lebih kecil. Dengan maksud menjelaskan hal ini-kendati keliru- kita sering mendengar "kalau bisa disederhanakan mengapa diperumit".Â
Dari proses ini terdapat bagian yang hilang (missing) sehingga sebagai keutuhan tidak bisa ditangkap. Makna yang ditangkap menjadi tidak lengkap. Tidak menutup kemungkinan hal ini berakibat pada penyimpangan perilaku atau pada persoalan yang tidak pernah selesai. Misalnya, kemacetan di Jakarta dicari solusinya melalui pengadaan bus transjakarta.Â
Padahal jika dilihat dengan cara pandang sistem akan sangat berbeda solusinya. Cara berpikir sistem melihat setiap bagian selalu terkait dengan bagian lain sebagai sebuah sistem.Â
Kemacetan di Jakarta bukan hanya disebabkan karena realitas sangat banyak kendaraan. Kemacetan disebabkan karena sistem transportasi umum yang kurang  baik, sistem pemilikan kendaraan yang sangat mudah, biaya yang bersentuhan dengan kendaraan sangat murah.Â
Cara berpikir sistem ini melihat satu peristiwa dalam sebuah jaringan sistem secara holistic. Solusi yang diambil pun sistemis menyangkut bagian lain yang terkait.
Setiap bulan Oktober kami melaksanakan kegiatan Bulan Bahasa yang isinya penampilan kreativitas siswa dan beberapa perlombaan. Sebut salah satunya adalah news anchor.Â
Siswa yang menampilkan news anchor membawakan satu topik terkait kepedulian lingkungan. Pada saat siswa menampilkan diri, ia tidak hanya menampilkan ketrampilan membawa berita, ia juga menampilkan rasa percaya diri, kemampuan dan ketrampilan berkomunikasi, ketrampilan public speaking.Â
Bahkan penghayatan dia terhadap budaya humanis sekolah sangat kelihatan pada saat penampilan. Misalnya bagaimana dia berdiri didepan, apakah tegak atau tidak, kerapihan pakaian, saat ia menerima dan menyerahkan mike kepada pembawa acara.Â
Satu tampilan dimaknai secara menyeluruh dan utuh dari perspektif isi, penampilan fisik, dan perspektif sikap atau budaya sekolah. Kemampuan memaknai secara menyeluruh seperti inilah yang saya sebut cara berpikir sistem (system thinking) di sekolah.
Proses pendidikan sungguh-sungguh menjadi proses pembangunan pribadi siswa secara utuh. Semua dimensi dan aspek kemanusiaan diperhatikan dan direkayasa (didesain) dalam pembentukan kepribadian yang utuh.Â
Dengan menggunakan cara berpikir seperti ini, guru tidak lagi jatuh pada dikotomi cara pandang hitam-putih, misalnya siswa pintar dan siswa tidak pintar; atau siswa lambat dan siswa cerdas.Â
Setiap siswa akan dilihat sebagai pribadi yang multi dimensi sehingga unsur perkembangan akan sangat diperhatikan, tentu sesuai dengan kondisi siswa masing-masing.Â
Setiap siswa akan mengalami perkembangan; hanya saja aspek yang berkembang setiap siswa akan berbeda. Dalam konteks seperti ini benar apa yang pernah dikatakan Master Chen Yen "Tidak lagi ada istilah siswa bermasalah, yang ada adalah masalah siswa".Â
Masalah ada sebagai bagian untuk mencari cara mengembangkan aspek-aspek tertentu pada diri siswa. Pintu kreativitas dan penghargaan secara personal makin terbuka lebar. Sekolah cerdas dan bermartabat menjadi sangat mungkin diperjuangkan. (Purwanto - Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H