Selama bulan Desember 2017 saya memberi pendidikan dasar perkoperasian (koperasi kredit) sebanyak 3 kali. Dua diantaranya, saya diminta. Artinya mereka (anggota baru/calon anggota) benar-benar ingin tahu bagaimana berkoperasi yang benar dan baik. Â Dalam dua kesempatan itu ada calon anggota yang bertanya, "bagaimana supaya saya bisa meminjam yang besar karena saya mempunyai rencana mau beli rumah?" Pertanyaan seperti itu sangat lumrah saya dengar pada setiap pendidikan dasar perkoperasian.Â
Dalam perjalanan kembali ke rumah, pertanyaan itu terus terngiang. Pertanyaan itu memunculkan dua hal yang terus kurenungkan: pertama, mentalitas meminjam bukan mentalitas menyimpan masih sangat kuat dalam masyarakat kita; kedua edukasi kepada pelaku koperasi.
Mentalitas meminjam bukan menyimpan
Di koperasi kami pernah ada seorang mahasiswa mengumpulkan data untuk menyusun skripsi. Salah satu pertanyaan kepada anggota terkait motivasi menjadi anggota koperasi kredit ditempat kami. Dari data itu, 93 persen 180 anggota yang diwawancari menyebutkan alasan menjadi anggota koperasi supaya bisa meminjam uang. Memang meminjam menjadi alasan pokok seseorang mennjadi anggota koperasi kredit. Apakah data ini mengagetkan kita? Tentu saja tidak.
Meminjam adalah mentalitas masyarakat yang begitu dominan. Masuk mal kita ditawari kemudahan meminjam alias kredit. Ke luar dari mal ditawari pegawai yang menawarkan kartu kredit. Masyarakat sudah dicekoki bahwa meminjam itu sudah menjadi gaya hidup. Meminjam itu identic dengan kemudahan. Lihat saja, banyak sekali diskon atau potongan harga yang diberikan kepada masyarakat yang mempunyai kartu kredit.Â
Anda tinggal gesek, anda dapat barang yang Anda inginkan (belum tentu barang itu Anda butuhkan); nonton tv disodori iklan gaya hidup yang sangat nikmat dengan kartu kredit. Pada kesempatan lain dalam sebuah presentasi promosi kopdit, ada seorang peserta menyampaikan sesuatu yang sangat menggelitik saya terkait pinjaman. Peserta itu mengatakan demikian, "Memang kita hidup tidak bisa lepas dari meminjam ya. Sebut saja, Pemerintah punya pinjaman, malah pinjamannya makin lama makin besar; perusahaan semakin besar semakin besar pula pinjamannya; nah, koperasi juga menawarkan pinjaman"
Apa yang diungkapkan peserta tadi memperkuat kesan kita bahwa "Meminjam" sudah menjadi mentalitas dan gaya hidup. Meminjam itu sudah menjadi cara berpikir masyarakat. Saya menjadi tersadar bahwa koperasi kredit ini adalah koperasi simpan pinjam bukan koperasi pinjam simpan apalagi koperasi pinjam tanpa simpan. Pengalaman-pengalaman itu terus terang membuat saya gelisah.Â
Apakah bisa masyarakat sejahtera hanya dengan meminjam? Kegilisahan itu mendorong saya mencari informasi apa hakikat koperasi dari sumber aslinya. Pikiran saya berhenti pada satu tokoh besar, D. Muhammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia. Saya baca gagasannya dari buku yang ditulis beliau "Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun" Dari setiap tulisan pidato yang disusunnya menjelang peringatan hari Koperasi, beliau selalu dan selalu menekankan pentingnya menyimpan. Menyimpan menjadi sebuah gerakan yang dilakukan setiap selama satu pekan setiap tahun menjelang peringatan hari koperasi.Â
Dari gerakan menyimpan satu pekan itu terkumpul dana sebagai modal koperasi untuk usaha bersama. Ini menjadi pemaknaan atas Koperasi sebagai usaha bersama atas azaz kekeluargaan.
Kemandirian, dan kesanggupan membantu diri sendiri (self-help) secara terus menerus didengungkan. Bung Hatta sepertinya dengan sangat keras ingin mengatakan "Kemandirian dan kesangggupan membantu diri sendiri" harus menjadi mentalitas masyarakat kita. Nah, supaya bisa seperti itu Anda harus memiliki kebiasaan menyimpan dan menyimpan. Itulah yang kurang lebih ingin beliau sampaikan.Inilah yang seharusnya menjadi mentalitas masyarakat dalam berkoperasi.
Edukasi kepada Pelaku Koperasi