Masih ingat dalam angan saya saat masih sekolah dasar. Setiap hari saya menghafal butir-butir Pancasila. Salah satu butir yang sangat familiar yaitu gotong royong, yang merupakan butir dari sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Gotong royong menjadi semangat hidup masyarakat di desa saya. Saat mau menanam jagung, masyarakat datang saling membantu, pada saat mendirikan rumah pun demikian. Rasa kekeluargaan dan persaudaraan begitu tinggi. “Hidup berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” peribahasa yang benar-benar hidup dan dirasakan masyarakat. Ketika saya pulang kampung semangat gotong royong masih hidup diantara mereka, walaupun tidak seerat tempo dulu.
Beda dulu dengan sekarang, lain lubuk lain ikannya. Saya tinggal di Jakarta, kompleks perumahan yang sederhana, perumnas. Semangat gotong royong mulai pudar. Praktek kerja bakti dan ronda malam (saat bulan ramadhan) sebagai bentuk gotong royong masih dijalankan. Tetapi hal itu hanya dilakukan oleh beberapa orang saja yang warga rukun tetangga setempat. Lebih banyak warga yang memilih membayar sejumlah uang kompensasi ketidakhadiran, atau membayar orang lain untuk tugas ronda. Bahkan teman saya yang tinggal di perumahan elite tidak pernah ada kegiatan kerja bakti atau ronda. Semua dilakukan dengan membayar orang.
Praktek gotong royong mulai ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan. Bahkan nilai gotong royong mulai luntur tergilas oleh perkembangan jaman dan arus modernisasi. Bahkan sebagai istilah gotong royong seolah hilang dari peredaran kosa kata kehidupan bermasyarakat. Murid saya di sebuah sekolah elite bisa menyebut istilah gotong royong tetapi tidak bisa menjelaskan makna dan tindakan perwujudannya. Tentu saja hal ini sangat disayangkan karena gotong royong adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai kepribadian bangsa.
Makna Gotong Royong
Bapak Ir. Soekarno menegaskan makna gotong royong. ”Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua”. Dari penegasan itu terkandung makna perjuangan bersama (kerja sama) saling membantu, untuk kepentingan semua demi tercapainya kebahagiaan semua. Sungguh makna yang sangat mendalam dari pemaknaan manusia sebagai makhluk sosial. Solidaritas sosial manusia Indonesia. Didalamnya terkandung panggilan manusia Indonesia yaitu untuk saling membantu demi kebahagiaan semua.Dalam semangat gotong royong terkandung solidaritas, terjadi saling meringankan beban; menanggung penderitaan secara bersama-sama. Karena makna solidaritas inilah, gotong royong tidak lagi terbatas pada ranah kehidupan sosial melainkan perwujudan dari kehidupan beragama.
Gotong Royong Sebagai Pilar Kehidupan Sosial
Hal ini menjadi penghayatan atas sila kelima dari Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia” Artinya kehidupan sosial yang berkeadilan akan terbentuk manakala semangat gotong royong dikembangkan. Tidak mungkin kehidupan sosial yang berkeadilan terjadi ketika semangat gotong royong mulai luntur dan kendor. Masyarakat yang kehilangan semangat gotong royongnya akan mudah terpecah belah, rapuh dan jatuh pada egoism, dan individualistis. Kebahagiaan yang dikejar bersifat personal tanpa memperhatikan orang lain. Masyarakat demikian bukanlah masyarakat yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.
Sebagai pilar kehidupan sosial, spirit gotong royong harus diinstitusionalisasi. Artinya agar semangat itu menjadi kepribadian setiap orang Indonesia, harus dirumuskan dalam pola perilaku secara sistematis dan terstruktur kedalam setiap bidang kehidupan berbangsa melalui peraturan perundangan yang bersifat memaksa dan mengikat semua orang.
BPJS, Solidaritas Institusional
Istilah institusional berarti lembaga atau melembaga. “solidaritas institusional” mengacu kepada proses pembatinan (internalisasi) nilai yang dilakukan secara sistematis, melalui perundang-undangan dan berbagai norma yang mengikat dan memaksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena itu, dalam konteks BPJS setiap warga Negara tanpa kecuali terikat. Hal ini bisa dipahami bahwa untuk melakukan tindakan moral sosial yang benar manusia kadang harus dipaksa. Pemaksaan ini dilakukan sesuai dengan UU No 40 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam hal ini, BPJS adalah bentuk Solidaritas Institusional. Dan karena itu, semua warga Negara terikat kepada ketentuan tersebut. Konsekuensi dari hukum jika seseorang tidak melakukan sesuai keharusan maka ia akan dikenakan sanksi hukum.
Ketika hukum tidak ditegakkan maka akan terjadi ketidakadilan dalam kehidupan sosial. Hal seperti ini yang sakarang terjadi dengan BPJS kesehatan. Dari data per Maret 2016 jumlah peserta BPJS kesehatan 163.327.183 (64.3%) dari 254 juta jumlah penduduk Indonesia. Sebagian besar kepesertaan BPJS kesehatan adalah masyarakat PBI (Penerima Bantuan Iuran) sebesar 63% yang didanai dari APBD atau APBN, sedangkan 24 % dari pekerja penerima upah dan 13% kepesertaan mandiri. Ini menunjukkan masyarakat Indonesia belum terlibat secara maksimal dalam semangat gotong royong, menanggung beban bersama, yang sehat membantu yang sakit.