Masih kuat dalam ingatan saya sandiwara radio, kisah-kisah heroik yang dihiasi aroma asmara, seperti Tutur Tinular, Saur Sepuh dan lain-lain yang popular tahun 80-90-an. Masyarakat di kampung saya seperti terhipnotis. Sandiwara bersambung itu membuat masyarakat merasa rugi jika tidak mendengarkan satu hari saja.
Begitu cintanya pada sadiwara radio itu, hingga para petani pun membawa radio ke ladang atau ke sawah. Dalam kasus itu sandiwara radio menjadi media yang sangat efektif menyampaikan pesan kepada masyarakat pada masa itu.
Bagaimana sekarang, masyarakat yang dikenal sebagai generasi Y-Z, yang akrab dengan gadget dan internet? Efektifkah sandiwara radio menjadi media yang digunakan untuk menyampaikan edukasi kepada masyarakat? Pertanyaan ini muncul dalam benak saya ketika Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai leader dalam program siaga bencana meluncurkan program sandiwara radio untuk mengedukasi masyarakat soal bencana alam.
Indonesia adalah Negara kepulauan yang paling rawan terhadap bencana alam. Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai Negara yang memiliki ancaman terhadap tsunami, kemudian tanah longsor, banjir dan gempa bumi menempati urutan ketiga di dunia. Bahkan Jepang masih berada dibawa Indonesia.
Melihat kondisi geografis yang rawan bencana, setiap saat masyarakat Indonesia hidup berdampingan dengan bencana. Tsunami di Aceh tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 yang menelan ratusan ribu korban jiwa datang secara tiba-tiba tidak dapat diprediksi.
Sebagian besar bencana alam termasuk dalam resiko sehingga jatuhnya korban bisa diperkecil dengan menajemen resiko. Resiko akan bergerak keangka yang makin rendah manakala informasi yang diterima masyarakat bergerak keangka yang makin tinggi.
Ini berarti semakin berkualitas infomasi yang deserap oleh masyarakat maka semakin kecil resiko yang terjadi. Dalam konteks pemberdayaan, informasi bermakna edukasi, yaitu membentuk sikap yang lebih baik, bertindak benar karena tahu apa yang harus dilakukan sesuai dengan konteks sosialnya. Informasi berasal dari dua kata, in yang berarti “masuk” dan form yang berarti “membentuk”. Jadi infomasi adalah sesuatu yang masuk kedalam diri seseorang membentuk sikap.
Data dan informasi yang disampaikan melalui sandiwara radio harus efeketif membentuk sikap masyarakat yang bukan hanya siaga bencana tetapi ramah bencana. Istilah Nouwen masyarakat yang memeluk bencana. Ramah bencana artinya, masyarakat mengetahui fenomena alam yang mengawali bencana sebagai tanda-tanda datangnya bencana alam. Selain itu, masyarakat juga mengetahui apa yang harus dilakukan ketika bencana itu datang. Kedua sikap ini adalah indikator bahwa masyarakat ramah terhadap bencana. Dengan ramah bencana diharapkan dapat memperkecil resiko akibat bencana alam.
Efektifitas Sandiwara Radio
Edukasi terhadap resiko bencana alam dapat dilakukan dengan berbagai cara. Efektifitas edukasi itu sangat ditentukan metode, media yang digunakan dan kontekstualitas dengan masyarakat real. Artinya metode dan media itu harus kontekstual dengan masyarakatnya. Misalnya saja untuk masyarakat pedesaan metode seminar dengan media presentasi tentu saja tidak efektif. Sandiwara merupakan metode sedangkan radio adalah media. Sandiwara radio sebagai alat untuk mengedukasi masyarakat agar ramah bencana memiliki kelebihan sebagai kekuatan komunikasi:
- Sandiwara radio mampu merangsang imajinasi pendengar. Daya imajinatif yang ditimbulkan oleh sandiwara radio luar biasa besar, membangkitkan emosi sehingga menyedot perhatian. Metode sandiwara-penceritaan atau (storytelling) selalu lebih menarik dibandingkan dengan metode ceramah. Bahkan dalam dunia penulisan, metode cerita (story writing) lebih popular dan lebih diminati pembaca. Metode ini membuat pendengar terlibat secara personal, dan masuk dalam peristiwa yang terjadi dalam sandiwara radio.
- Sandiwara radio lebih berciri refleksif. Ini menjadi kekuatan yang tidak ada pada metode visualisasi seperti dalam televisi. Pendengar terlibat dalam refleksi para tokoh dalam cerita itu. Refleksi ini diperkuat oleh unsur suara dan deskripsi pencerita sehingga terjadi dramatisasi imanjinasi dan refleksi yang terjadi secara dialogis.
Pentingnya Kontekstualitas
Unsur-unsur kuat sandiwara radio menjadi efektif sebagai media edukasi ketika kisah dalam sandiwara itu konteksnya sesuai dengan pendengar. Ketika sandiwara radio digunakan dengan tujuan supaya masyarakat ''berusaha hidup harmoni dengan bencana, bersiasat memperkecil dampak.'' seperti kata Dr. Sutopo Purwo Nugroho, maka cerita didalamnya harus sesuai dengan konteks masyarakat.
Kesesuaian budaya didalam kisah dengan masyarakat pendengar harus selaras. Misalnya ketika sandiwara radio mau mengedukasi masyarakat terhadap bencana tsunami, tentu saja konteks atau setting masyarakat dalam sandiwara itu harus sesuai dengan masyarakat yang hidup dipinggir pantai atau sekitarnya. Tanpa kontekstualitas, kisah dalam sandiwara radio menjadi tidak menarik dan akan ditinggalkan masyarakat.
Pentingnya Gerakan Massif
Mengedukasi masyarakat yang siaga bencana tidak mungkin dicapai hanya oleh BNPB melalui program sandiwara radio. Disini pentinnya gerakan massif seluruh elemen masyarakat, khususnya tokoh masyarakat dan departemen dalam pemerintahan terkait seperti departemen pariwisata, dan lainya untuk terus menerus melakukan edukasi.
Edukasi sebagai gerakan yang dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus sehingga menjadi kesadaran dan gaya hidup (style of life) masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan memiliki kecintaan terhadap alam lingkungannya. Alam lingkungan yang dicintai pasti akan harmoni dengan manusia karena alam semesta pun layak dicintai.
https://www.facebook.com/Maspungwangto
https://mobile.twitter.com/Masaeguspung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H