Oleh Agustinus Masae Purwanto
Foto selfie telah menjadi trend. Bukan hanya dikalangan remaja, wanita dan para selebritis melainkan telah merasuk disemua kalangan termasuk para pejabat. Anda pun pasti pernah foto selfie. Dengan berbagai gaya mereka selfie. Kemudian update status. Pada umumnya mereka yang berfoto selfie bergaya sedemikian rupa sehingga tampak lucu, cantik, gantng, elegan, glamour, wah, keren dan sejenisnya. Jarang ditemukan seseorang foto selfie dengan gaya sedih dan memelas. Bahkan dalam pemakanam-peristiwa duka-banyak pelayat melakukan selfie, dan terkadang didekat peti jenazah. Apalagi jika yang meninggal itu pejabat, selibritis atau kalangan terkenal. Intinya mau menunjukkan, istilah orang tua dulu “pamer”-diri bahagia. Apakah memang benar mereka bahagia sebahagia dalam selfie?
Masyarakat Tanpa Identitas
Inilah arus modernisasi dan teknologi. Manusia jaman sekarang telah terbawa arus modernisasi, tampilan luar (packing) menjadi alat untuk mengukur diri sendiri dan orang lain. Tampilan memang penting tetapi keberadaan/eksistensi seseorang tidak bisa diukur dengan menggunakan alat ukur tampilan luar. Kecenderungan arus modernisasi dan teknologi menyebabkan manusia mengejar bahagia dan menghindari derita. Naluriah dan insting manusia telah terprogram oleh tuntutan modernisasi dan teknologi. Nilai tradisional yang telah lama menjadi kekuatan masyarakat untuk bertahan sebagai manusia yang berbudaya dan bermartabat karena kerja keras dan olah tapa mati raga sekarang menjadi nisbi dan bahkan mulai hancur oleh kerasnnya benturan moderinitas. Daya juang menjadi lemah dan keutamaan hidup menjadi barang langka yang mulai masuk ke dalam museum tak bernama. Inilah situasi anak-anak kita hidup dan dibesarkan. Situasi ini seperti inilah yang disebut seorang penulis rohani sebagai “masyarakat tanpa identitas”
No Pain, No Gain
“Tidak ada derita, tidak ada kesuksesan” diyakini oleh para pelaku sukses. Hal senada telah menjadi nasihat bijak para orang tua dahulu dalam peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang ketepian. Bersakit-sakit dahulu dan bersenang kemudian” Indah dan mudah untuk diucapkan tetapi tidak untuk dilaksanakan. Terbukti dalam hidup setiap derita dihindari sedapat mungkin. Dan peribahasa diatas mulai digantikan dengan peribahasa berikut: “Muda bersuka ria, tua bahagia, mati masuk surga” Jelas peribahasa ini bertolak belakang dengan nasihat para orang tua kita dahulu yang selalu memberi nasihat “perihatin dulu supaya sukses” artinya kalau mau sukses ya harus “perihatin”. Perihatin itu secara harafiah berarti hati yang pedih. Itu bukan sekadar berkerja keras tetapi juga rela mati raga, rela merasakan sakitnya hati, olah hati dan budi sehingga menjadi pribadi yang rendah hati, menghargai kehidupan dan sesama manusia sebagai saudara. Kesuksesan yang didasari keprihatinan adalah kesuksesan yang membawa kesejahteraan jasmani dan rohani, kesejahteraan pribadi dan orang lain.
Mendidik Sabar Ketika Dalam Kesesakan
Orang tua mana yang tidak ingin anaknya hidup sukses dan bahagia, lebih sukses dan lebih bahagia dibandingkan orang tuanya. Semua orang tua akan melakukan yang terbaik untuk anaknya dalam segala hal. Keinginan seperti itu tidak jarang membuat orang tua berusaha mati-matian agar anaknya tidak pernah mengalami kesulitan. Ketika sang anak sedikit saja menderita, orang tua telah kalang kabut berusaha melepaskan anak dari derita itu. Keinginan orang tua seperti itu, membuat anak tidak pernah belajar menghadapi kesulitan. Karena ketika anak mempunyai kesulitan, orang tau datang sebagai pahlawan. Kabiasaan demikian makin lama makin tidak disadari, anak makin dewasa tetapi tidak juga memiliki kecerdasan memecahkan masalah dan daya juang rendah. Melihat generasi demikian, banyak orang mengatakan mereka sebagai generasi manja. Padahal mereka menjadi seperti sekarang ini adalah buah rekayasa para orang tua. Orang tua telah tidak sabar ketika anak berada dalam kesesakan.
Padahal didalam kesesakan, kesulitan dan derita terkandung beribu pembelajaran mengenai hidup dan kehidupan. Sungguh benar “no pain, no gain” Terkadang membiarkan anak berada dalam kesulitan-kendati itu membuat orang tua sakit-akan berdampak postif bagi perkembangan diri anak. Yakinlah sebagai orang tua, bahwa tidak ada anak mati karena kesulitan yang dihadapi, tidak akan anak binasa karena masalah yang dihadapi, tidak akan anak hancur karena penderitaan. Dari kesulitan, sang anak akan belajar bagaimana bertahan; dari masalah, sang anak belajar bagaimana berjuang; dan dari derita, sang anak akan belajar belas kasih dan rendah hati. Yakinlah sebagai orang tua, bahwa Tuhan memberikan kekuatan untuk bertahan kepada anak ketika anak berada dalam derita. Hidup dengan segala yang ada menjadi begitu berharga karena ada kesulitan, tantangan dan derita. Apapun yang diperoleh dengan mudah akan habis dengan mudah pula. Silakan didik anak untuk berjuang mendapatkan sesuatu supaya mereka mampu menghargai sesuatu.
Anak yang dididik dengan kesabaran dalam kesesakan akan tumbuh menjadi pribadi yang menghargai keberadaan dirinya dan sesamanya bukan dari yang tampak (selfie) saja melainkan dari seluruh kehidupan dirinya dan sesamanya. Ia tidak mudah menilai apalagi menghakimi. Baginya hidup adalah proses menjadi pribadi yang terus berkembang melalui berbagai kesulitan, tantangan dan derita bersama orang lain (with others for the others). Mungkin tulisan ini tidak cocok untuk Anda tetapi tidaklah mengapa. Gak usah dipikirkan. Mari kita renungkan dan refleksikan saja, karena “hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani” (Socrates). Semoga kita menjadi orang tua yang bijaksana. Karena “kebijaksanaan lebih utama daripada emas permata”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H