Mohon tunggu...
Bima Satria Putra
Bima Satria Putra Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Jurnalistik Fiskom UKSW. Pemimpin Redaksi LPM Lentera. Tertarik dengan kajian gerakan sosial, kebijakan publik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Money

Di Pinggiran dan Dipinggirkan: Menciptakan Ruang Publik yang Adil untuk PKL

25 September 2015   20:35 Diperbarui: 26 September 2015   07:22 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Penggusuran PKL di Monas (Foto : APKLI)"][/caption]

Jika anda pergi ke taman, alun-alun atau monumen kota, anda dapat menyaksikan sendiri ketika pedagang asongan berebut menawarkan barang dan jasanya kepada anda. Selain itu, tenda-tenda dan gerobak Pedagang Kaki Lima (PKL) tampak mewarnai lokasi yang anda kunjungi. Mereka inilah yang disebut sebagai pelaku usaha dari sektor informal.

Sektor informal biasanya ditandai dengan skala modal, keterampilan, kemampuan produksi dan pemasaran yang terbatas. Selain itu, biaya pelaku usaha dari sektor informal ini memiliki tenaga kerja yang berasal dari keluarga. Yang membedakan antara sektor formal dan informal adalah dari kegiatan yang dilakukan individu, jumlah pendapatan dan pengeluaran, keteraturan jam kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan waktu, serta status hukum kegiatan tersebut (Manning, 1985).

Contohnya bermacam-macam, pedagang asongan, PKL, penjaja koran, penyemir sepatu, bahkan hingga pelacuran. Jenis pekerjaan ini biasanya terlewatkan dalam statistik karena dianggap kurang penting. Selain itu, mereka biasa memenuhi suatu lokasi strategis tertentu, mulai dari terminal, area kampus, area perkantoran, bahkan hingga ke dalam gang-gang.

Sayangnya, menurut Rachbini (dalam Alisjahbana, 2006), PKL adalah kelompok masyarakat yang tergolong tidak berdaya dan marjinal. Tidak berdaya karena selama ini tidak terlindungi hukum dengan posisi tawar (bargaining position) yang lemah dan menjadi objek penertiban. Marjinal dalam arti bahwa mereka cenderung tersisih dari arus kehidupan kota. Dalam artikel ini, penulis mencoba mendeskripsikan bagaimana mereka di pinggiran ruang publik dan mereka dipinggirkan dari ruang publik.

PKL di Pinggiran

PKL sebagai salah satu bentuk sektor informal menjamur di daerah metropolitan. Mereka biasanya pendatang dengan tingkat ekonomi lemah dari daerah sekitar kota yang didorong oleh urbanisasi. Motif perpindahan penduduk dari desa ke kota ini disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata terutama pada negara dunia ketiga, yang seringkali terpusat di kota (bias urban). Selain itu, modernisasi pertanian justru mengurangi serapan jumlah tenaga kerja dan menambah pengangguran di desa.

Akibatnya, penduduk desa berbondong ke kota dengan harapan akan pekerjaan dan masa depan yang lebih baik di tengah kemiskinan dan kesulitan mencari pekerjaan di desa. Sayangnya, para pendatang ini malah tidak terserap ke sektor formal karena arah investasi di Indonesia tidak ramah terhadap tenaga kerja yang tidak berpendidikan. Akibatnya, para pendatang tersebut lebih memilih sektor informal, salah satunya PKL.

Ada beberapa alasan kenapa para pendatang kemudian memilih sektor informal sebagai pekerjaan mereka. Pertama, mereka tidak memiliki keterampilan atau keahlian lain. Kedua, mereka tidak berpindidikan tinggi atau tidak berpendidikan sama sekali. Ketiga, mereka tidak memiliki modal untuk pengembangan usaha. Keempat, mereka tidak ingin bergantung kepada orang lain[1].

Sektor informal sering menjadi permasalahan tata ruang perkotaan karena menyebabkan kesemrawutan, kekumuhan dan masalah kebersihan dan ketertiban. Mereka memenuhi trotoar hingga ke badan jalan, sehingga menyebabkan kemacetan lalu lintas. Lokasi penjualan yang terkonsentrasi kemudian menciptakan kondisi yang padat dan sesak. Karena harus mengutamakan laba di tengah keterbatasan waktu dan prasarana, seringkali kebersihan dinomorduakan. Sehingga wajar jika sektor informal identik dengan masalah kebersihan. Kedatangan para kaum urban juga menyebabkan merebaknya pemukiman kumuh yang terletak di lahan kosong sekitar kota.

[caption caption="Macet akibat PKL berjualan di Jalan Kebon Jati Tanah Abang (Foto : Teropong Senayan)"]

[/caption]

PKL Dipinggirkan

Para peminjam modal sering tidak membantu dan simpati dengan kebutuhan pelaku usaha sektor informal karena ketidakmampuan mereka menyediakan jaminan yang diharuskan seperti layaknya rekan mereka di sektor formal. Pemerintah pun enggan membantu mereka dan berusaha mengembalikan mereka ke desa karena menganggapnya sebagai sumber masalah kota. PKL selama ini diperlakukan sebagai subjek yang tidak dilibatkan dalam pengambil kebijakan. Langkah yang diambil pemerintah seringkali bersifat punitif, represif dan berjangka pendek. Seperti pelarang berjualan, sanksi, pengusiran, penangkapan dan penyitaan peralatan dan barang dagangan PKL.

Padahal, penggusuran yang bersifat hukuman (punishment) itu sebenarnya dimaksudkan untuk menghasilkan efek jera (kapok) kepada PKL. Tetapi alih-alih menyelesaikan masalah, penggusuran hanya menimbulkan permasalahan baru. PKL yang diusir kemudian akan berpindah ke lokasi lain yang dianggap lebih strategis, sehingga terjadi pemadatan PKL dalam jumlah banyak pada suatu lokasi tertentu.

Sementara itu, beberapa PKL bahkan tetap nekad berjualan di lokasi lama dan bermain kucing-kucingan dengan aparat. Tindakan represif yang dilakukan aparat kemudian hanya menumpuk rasa marah yang mendalam yang sewaktu-waktu dapat meledak, sehingga mengakibatkan perlawanan dari PKL baik secara individual maupun kolektif. Perlawanan ini yang justru akan menimbulkan karegian material yang lebih besar lagi serta mengeluarkan lebih banyak waktu, tenaga dan biaya.

Pada masa revolusi fisik 1945, PKL mempunyai peran penting dalam upaya mewujudkan kemerdekaan. Mereka berfungsi sebagai penyalur bantuan, pengiriman bantuan senjata, dan pesan-pesan rahasia. Mengingat pentingnya PKL pada perjuangan kemerdekaan, sudah seharusnya PKL tidak dipinggirkan.

Selain itu PKL juga bersifat mandiri dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Sektor informal memberikan kontribusi yang positif dalam aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat ekonomi lemah. Sekitar 54,9 juta orang di Indonesia menggantungkan dirinya kepada sektor informal. Oleh karena itu, penyitaan peralatan dan barang dagangan justru mematikan ekonomi kerakyatan yang mana penduduk dengan kelas ekonomi menengah ke bawah bersandar kepadanya. Tindakan represif pemerintah selama ini bertentangan dengan komitmen pemerintah yang (katanya) hendak memberantas kemiskinan.

[caption caption="PKL di area kota tua Jakarta (Foto : Bidik Fakta)."]

[/caption]

Lagipula, masyarakat formal sebenarnya telah memberikan ruang kepada sektor informal sejak berabad-abad. Perdagangan informal dianggap sebagai ciri budaya dan tata kebiasaan kota. Hal itu nampak dari sinergisnya sektor formal dan informal. Sektor informal sering menjadi pemenuhan kebutuhan hidup dengan harga yang relatif terjangkau. Kita lihat saja para pegawai plaza (terkadang dengan bosnya juga) yang pada jam istirahatnya pergi mendapatkan makanan yang lebih murah. Selain itu, PKL seringkali menawarkan persaingan yang sehat kepada pedagang kios, sehingga menciptakan roda perekonomian yang lebih dinamis.

PKL juga salah satu mata rantai yang penting bagi industri. Dr. Ali (2013), menjelaskan bahwa keberadaan pedagang kaki lima sangat membantu setiap perusahaan yang produknya beredar di pasaran Indonesia. Hal ini bisa dilihat ketika PKL menjajakan dagangan yang merupakan hasil produksi dari perusahaan besar kepada masyarakat umum. Cara kerja para pedagang kaki lima itulah yang akhirnya membuat perusahaan-perusahaan tersebut bisa bertahan bahkan meraih keuntungan yang cukup besar, karena jika produk-produk perusahaan tersebut tidak tersalur atau tidak diserap oleh konsumen, tentu saja perusahaan tersebut bisa bangkrut atau terancam gulung tikar.

Ruang Publik yang Adil untuk PKL

Mengingat pentingnya sektor informal khususnya PKL, kita perlu merubah tindakan represif yang telah dilakukan selama ini dengan tindakan yang lebih persuasif. PKL juga harus dilibatkan dalam pengambilan kebijakan dan setiap keluhan dan aspirasi PKL juga harus ditampung dan ditindaklanjuti. Pembinaan, tendanisasi, dan bantuan modal lunak perlu dilakukan.

Ruang publik harus terbuka secara egaliter terhadap setiap kelompok dan golongan, termasuk PKL. Pelarangan dan penggusuran terhadap PKL menunjukan bahwa ruang publik kita selama ini tidak menyediakan tempat yang adil kepada PKL. Karena penyingkiran PKL dari ruang publik justru bukannya menyelesaikan masalah, tetapi malah menciptakan masalah jangka panjang yang baru.

 

Referensi

Alisjahbana. (2006). Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan. Surabaya. ITS Press.

Becker, Kristina Flodman. The Informal Economy: Fact Finding Study. (2004). Retrieved from Department for Infrastructure and Economic Cooperation website : http://rru.worldbank.org/Documents/PapersLinks/Sida.pdf.

Manning, Chris, & Effendi Tadjuddin Noer (Eds). (1985). Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal Kota. Jakarta. Gramedia.

Squire, Lyn. (1982). Kebijaksanaan Kesempatan Kerja di Negeri-negeri Sedang Berkembang : Sebuah Survei Masalah-Masalah dan Bukti-Bukti. Jakarta. UI Press dan Pustaka Bradjaguna.

Yunus, Sabari Hadi. (2006). Problematika Kehidupan Kota dan Strategi Menuju Sustainable City. Balairung, Edisi 40 Tahun XX, 6-19.

Steven. (2013). Ali Mahsun Biomed : Tanpa Pkl Banyak Perusahaan Bakal Bangkrut. Diakses dari http://draliketuaumumapkli.blogspot.co.id/ pada Jumat, 25 September 2015.

[1] Wawancara dengan beberapa PKL pada 23-24 Agustus 2015 di Kota Salatiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun