Jakarta, sebagai ibu kota Indonesia, memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, salah satunya adalah ondel-ondel, ikon khas Betawi yang telah ada sejak zaman dahulu.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ondel-ondel yang digunakan untuk mengamen di jalanan menjadi perdebatan.
Tidak sedikit orang yang kemudian merasa seni tradisional ini mengalami degradasi nilai akibat dijadikan sarana mencari nafkah dengan cara yang kurang terstruktur.
Kasus serupa juga terjadi pada pengamen jalanan dan fenomena manusia silver---orang-orang yang melumuri tubuh mereka dengan cat perak dan meminta sumbangan di jalanan.
Fenomena ini, tentu menimbulkan pertanyaan besar: Haruskah Jakarta membiarkan kesenian jalanan berkembang tanpa regulasi, ataukah ada cara agar seni budaya ini tetap hidup dengan lebih bermartabat?
Dalam tulisan ini, kita akan membahas tiga poin utama terkait fenomena tersebut: Degradasi nilai budaya dalam kesenian jalanan, peluang seni pertunjukan sebagai daya tarik ekonomi, dan peran pemerintah dalam pengelola dan memfasilitasi seni jalanan.
Mari kita menelaah ketiga poin utama tersebut.
Degradasi Nilai Budaya dalam Kesenian Jalanan
Seni tradisional memiliki makna yang mendalam dalam budaya suatu daerah. Namun, ketika kesenian digunakan secara tidak terarah, nilai budaya yang terkandung di dalamnya bisa berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Dalam kasus oondel-ondel, misalnya, ikon budaya Betawi ini telah bertransformasi dari simbol kebanggaan menjadi alat mencari nafkah di jalanan.
Seorang budayawan, Samodro, menyoroti bahwa ondel-ondel yang dipakai untuk mengamen di perkampungan tanpa konsep yang jelas dapat menurunkan nilai seni itu sendiri.
Ibarat makanan tradisional seperti gethuk, kalau disajikan di restoran ternama, nilainya akan meningkat, tapi kalau dijual di pinggir jalan tanpa sentuhan estetika, kesan murahan justru lebih dominan.
Fenomena ini mirip dengan manusia silver dan pengamen jalanan yang, kerap kali, hanya mengandalkan cara instan untuk menarik perhatian.
Bukannya menampilkan pertunjukan berkualitas, mereka cenderung melakukan atraksi seadanya, yang justru memperkuat stigma negatif terhadap kesenian jalanan.
Kalau ini dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin generasi mendatang akan melihat ondel-ondel dan seni jalanan sebagai sesuatu yang rendah dan kurang bermakna.
Peluang Seni Pertunjukan sebagai Daya Tarik Ekonomi
Meski banyak kritik terhadap fenomena kesenian jalanan, ada sisi positif yang bisa dikembangkan.
Seni pertunjukan, sebenarnya, memiliki potensi ekonomi yang besar kalau dikelola dengan baik.
Kita bisa melihat contoh dari Hawaii, di mana tarian Hula dan pertunjukan menangkap ikan dengan tombak menjadi daya tarik wisata yang mendunia.
Kalau ondel-ondel dikemas dengan baik, bukan sekadar berkeliling kampung dengan gerobak dan pengeras suara, tapi dipentaskan dalam acara resmi atau festival budaya, maka nilai seni dan ekonominya akan meningkat.
Misalnya, di Jember, Jawa Timur terdapat Jember Fashion Carnival yang menampilkan parade budaya dengan tata kelola profesional.
Jakarta, sebagai kota metropolitan dengan berbagai acara besar, bisa menjadikan ondel-ondel sebagai bagian dari event budaya yang eksklusif, baik dalam karnaval maupun pertunjukan seni berbayar.
Selain itu, pengamen jalanan pun bisa berkembang ke tingkat yang lebih tinggi. Seperti yang disampaikan Samodro, pengamen memiliki beberapa tingkatan, dari yang asal-asalan hingga yang berkualitas seperti Didi Kempot.
Kalau ada wadah yang bisa menampung mereka, misalnya pertunjukan di gedung kesenian atau festival musik jalanan yang dikurasi dengan baik, maka kesenian jalanan bisa menjadi sumber mata pencaharian yang lebih layak.
Peran Pemerintah dalam Mengelola dan Memfasilitasi Seni Jalanan
Di sini peran pemerintah menjdi sangat penting dalam mengangkat martabat seni jalanan.
Kalau fenomena ondel-ondel, manusia silver, dan pengamen jalanan terus berkembang tanpa regulasi yang jelas, ini hanya akan menimbulkan persoalan sosial yang berkepanjangan di Jakarta.
Menangkap mereka dan membawa ke panti sosial, mungkin bisa meredakan masalah sementara, tapi tanpa solusi jangka panjang, mereka akan terus kembali ke jalanan.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakart bisa mengambil beberapa langkah strategis berikut:
Pertama, menyediakan ruang seni publik. Pemerintah bisa menyiapkan ruang khusus bagi pengamen dan seniman jalanan untuk tampil secara legal dan profesional, misalnya panggung seni di taman kota atau di kawasan wisata.
Kedua, pelatihan dan sertifikasi seniman jalanan. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bisa bekerja sama dengan komunitas seni untuk memberikan pelatihan bagi seniman jalanan, sehingga mereka bisa meningkatkan kualitas pertunjukan mereka.
Ketiga, membuat festival budaya jalanan. Mengadakan festival seni jalanan secara rutin bisa menjadi cara untuk mengapresiasi dan mengangkat status seni jalanan.
Festival ini bisa menjadi ajang bagi seniman jalanan untuk unjuk kebolehan dalam suasana yang lebih terorganisir dan bernilai ekonomi.
Keempat, memanfaatkan teknologi dan media sosial. Pemerintah bisa membantu mempromosikan seni jalanan melalui media sosial dan platform digital.
Kalau dibuat program khusus seperti kompetisi atau showcase online, ini bisa meningkatkan eksposur seniman jalanan ke khalayak yang lebih luas, bahkan hingga ke mancanegara.
Kesimpulan
Fenomena ondel-ondel keliling, manusia silver, dan pengamen jalanan di Jakarta adalah permasalahan kompleks yang membutuhkan solusi menyeluruh.
Kalau dibiarkan tanpa pengelolaan yang baik, seni jalanan ini bisa terus mengalami degradasi nilai.
Namun, kalau diorganisir dengan strategi yang tepat, kesenian ini bisa menjadi daya tarik ekonomi yang menguntungkan, baik bagi pelaku seni maupun bagi kota itu sendiri.
Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pertumbuhan seni jalanan, bukan hanya dengan menertibkan, tapi juga dengan memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang.
Dengan strategi yang tepat, Jakarta bisa meniru kota-kota lain yang telah berhasil mengelola seni pertunjukan sebagai bagian dari identitas dan daya tarik wisata mereka.
Mari kita dukung upaya untuk mengangkat martabat seni jalanan Jakarta, sehingga budaya kita tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dengan lebih baik di era modern ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI