Ketentuan tersebut berbeda dengan kondisi di Pelabuhan Tanjung Priok, di mana para pedagang asongan diberi kebebasan untuk berjualan tanpa syarat pakaian khusus.
Cerita ini menyentuh hati saya. Bayangkan, risiko yang harus mereka hadapi: memanjat tali kapal di tengah malam, dengan kemungkinan tergelincir dan jatuh.
Semua ini dilakukan demi mendapatkan penghasilan kecil dari para penumpang kapal.
Kesenjangan Kebijakan: Pelni dan Pengelola Pelabuhan Perlu Berbenah
Perbedaan aturan antara pelabuhan seperti Tanjung Priok dan Anging Mammiri menunjukkan adanya ketidakseragaman kebijakan yang memengaruhi nasib pedagang asongan.
Padahal, mereka adalah bagian penting dari ekosistem pelabuhan, memberikan layanan kepada penumpang dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan pedagang resmi di dalam kapal. Â
PT Pelni dan pengelola pelabuhan perlu meninjau ulang aturan-aturan ini. Ada beberapa poin yang bisa menjadi fokus: Â
Pertama, kesejahteraan pedagang asongan. Kebijakan yang terlalu ketat justru meminggirkan mereka yang bergantung pada sektor informal ini.
Memberikan izin masuk dengan pengawasan yang wajar, misalnya, dapat menjadi solusi.
Kedua, standar aturan yang seragam. Ketidakkonsistenan aturan antar pelabuhan menciptakan ketidakadilan.
Dengan menetapkan standar yang seragam di seluruh pelabuhan, pedagang asongan dapat merencanakan usaha mereka dengan lebih baik. Â