Mengatasi pencemaran air di Jakarta bukanlah tugas yang mudah, tentu saja. Ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi oleh Pemprov DKI Jakarta:
Pertama, peremajaan permukiman padat penduduk. Salah satu solusi yang diusulkan oleh Nirwono adalah membangun hunian vertikal di permukiman padat penduduk.
Namun, proyek ini menghadapi tantangan besar dalam hal pembebasan lahan, pendanaan, dan resistensi masyarakat. Banyak warga yang enggan pindah ke hunian vertikal karena alasan kenyamanan, budaya, atau ketidakpastian masa depan.
Kedua, peningkatan infrastruktur sanitasi. Pemprov perlu menyediakan fasilitas sanitasi yang lebih baik, seperti septic tank komunal atau jaringan pengelolaan limbah terpadu.
Namun, proyek-proyek ini membutuhkan biaya besar dan waktu yang panjang untuk direalisasikan, sementara dampaknya tidak langsung terasa.
Ketiga, penegakan hukum yang lemah. Penegakan hukum terhadap pembuangan limbah ilegal masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Banyak industri yang tetap membuang limbahnya langsung ke sungai tanpa sanksi yang berarti. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai juga masih rendah.
Keempat, minimnya anggaran dan sumber daya. Anggaran pemprov untuk pengelolaan air dan lingkungan, sering kali, tidak memadai untuk menangani masalah sebesar ini.
Selain itu, kurangnya tenaga ahli di bidang pengelolaan air, juga menjadi kendala tersendiri.
Kelima, koordinasi antarinstansi yang kompleks. Pengelolaan air di Jakarta melibatkan berbagai instansi, baik di tingkat daerah maupun nasional.
Kurangnya koordinasi antarinstansi, sering kali, menyebabkan kebijakan tidak berjalan efektif di lapangan.