Jakarta, ibu kota Indonesia, kini tengah menuju statusnya sebagai Kota Global. Dengan berbagai infrastruktur modern dan pencakar langit yang menghiasi cakrawala, wajah metropolitan ini tampak semakin maju. Ironisnya, di balik kemegahan tersebut, terdapat fenomena mencolok yang menjadi cermin ketimpangan sosial di kota ini.
Di satu sisi, banyak rumah dan gedung kosong yang terbengkalai tanpa penghuni atau pemanfaatan, sementara di sisi lain, masih ada warga yang terpaksa tinggal di bawah jalan tol, seperti yang terlihat di Jalan Tol Dalam Kota Cawang-Tomang-Pluit, tepatnya di kawasan Jelambar Baru, Jakarta Barat.
Fenomena gedung kosong di tengah kota dan rumah-rumah kumuh di bawah jalan tol adalah dua sisi koin yang menunjukkan masalah mendasar dalam perencanaan hunian dan distribusi tempat tinggal yang layak di Jakarta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta tahun 2022, dari 2,78 juta rumah tangga yang ada, lebih dari 63 persen, atau sekitar 1,77 juta rumah tangga, belum memiliki akses terhadap hunian layak. Angka ini menggambarkan ketimpangan akses hunian yang parah di Jakarta.
Tulisan ini akan mengulas lebih dalam mengenai beberapa faktor yang menyebabkan krisis hunian layak di Jakarta, langkah-langkah yang telah diambil Pemprov Jakarta untuk mengatasinya, dan bagaimana pentingnya kriteria hunian layak demi mewujudkan Jakarta sebagai kota yang ramah bagi seluruh warganya.
Faktor Penyebab Krisis Hunian Layak di Jakarta
Masalah hunian layak di Jakarta tidak muncul secara tiba-tiba. Terdapat sejumlah faktor utama yang turut berperan dalam menciptakan kondisi krisis hunian yang dialami oleh banyak warga Jakarta saat ini. Mari kita mendiskusikannya lebih jauh.
Pertama, pertumbuhan penduduk yang pesat dan keterbatasan lahan. Jakarta merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan penduduk tercepat di Indonesia.
Arus urbanisasi dari daerah-daerah sekitar serta perpindahan warga desa ke kota membuat populasi Jakarta semakin padat dari tahun ke tahun.
Keterbatasan lahan yang tersedia, ditambah dengan lonjakan populasi ini, menyebabkan permintaan hunian melebihi pasokan yang ada. Dalam kondisi di mana lahan semakin sempit, harga properti di Jakarta pun menjadi sangat tinggi.
Situasi ini mempersulit masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memiliki hunian di pusat kota, yang pada akhirnya memaksa mereka tinggal di wilayah pinggiran bahkan di bawah jembatan atau jalan tol.