Buang air besar (BAB) sembarangan masih menjadi tantangan besar di perkotaan seperti Jakarta, khususnya pada area permukiman padat, di mana fasilitas sanitasi masih terbatas.
Praktik ini menimbulkan berbagai dampak negatif bagi kesehatan lingkungan dan masyarakat. Selain itu, perilaku pembuangan popok sekali pakai (pampers) sembarangan turut memperburuk kondisi tersebut.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Jakarta (DKJ), sebanyak 187.183 kepala keluarga (KK) masih melakukan BAB sembarangan, sementara 36.303 rumah di Jakarta belum memiliki akses ke jamban. (Sumber: cnnindonesia.com).
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan edukasi, regulasi yang lebih ketat, dan peran aktif dari masyarakat.
Tulisan ini akan menguraikan tiga hal penting terkait fenomena ini: pertama, alasan mengapa praktik BAB dan pembuangan popok sembarangan masih terjadi di Jakarta; kedua, risiko kesehatan dan lingkungan dari perilaku ini; dan ketiga, kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
Alasan di Balik Praktik BAB dan Pembuangan Popok Sembarangan
Tingginya angka BAB dan pembuangan popok sembarangan di Jakarta disebabkan oleh berbagai faktor, terutama ketersediaan fasilitas sanitasi dan pemahaman masyarakat mengenai dampak perilaku ini.
Pertama, keterbatasan akses fasilitas sanitasi. Sebagian besar area dengan kasus BAB sembarangan adalah permukiman padat penduduk atau kawasan kumuh yang kekurangan infrastruktur dasar, termasuk fasilitas sanitasi yang memadai.
Di beberapa lokasi, warga terpaksa membangun bangunan di atas saluran air atau bantaran kali untuk dijadikan tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) darurat.
Fasilitas ini digunakan secara bersama-sama oleh warga sekitar tanpa akses ke sistem pembuangan limbah yang benar.
Kedua, kebiasaan dan kurangnya kesadaran masyarakat. Praktik BAB sembarangan juga berakar dari kebiasaan lama dan kurangnya kesadaran mengenai risiko lingkungan.