Keputusan pemerintah Indonesia membuka kembali keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan diikuti oleh Permendag Nomor 20 Tahun 2024, memunculkan polemik luas.
Isu ini, tidak hanya menyulut perdebatan mengenai dampak lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, melainkan juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai apakah kebijakan ini benar-benar menguntungkan secara ekonomi dalam jangka panjang?
Dalam pembelaannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan bahwa sedimen yang akan diekspor berbeda dari pasir laut.
Sedimen ini diklaim sebagai material yang mengganggu jalur pelayaran dan perlu dihilangkan untuk menjaga arus laut tetap lancar.
Namun, pengamat lingkungan telah menegaskan bahwa sedimen yang ditambang tetaplah pasir, dengan butiran berukuran antara 1/16 hingga 2 mm, yang akan berdampak serupa pada ekosistem laut jika dikeruk dalam jumlah besar.
Pernyataan ini menggarisbawahi persoalan bahwa meskipun pemerintah berusaha memisahkan istilah 'sedimen' dari 'pasir laut', faktanya, pengerukan dalam skala besar akan tetap menimbulkan risiko yang sama.
Tulisan ini akan menelisik dampak pengerukan pasir bagi lingkungan dan masyarakat pesisir, serta keuntungan ekonomi jangka pendek. Akhirnya, saya akan menawarkan sebuah alternatif dari polemik ekspor pasir laut.
Dampak Lingkungan yang Tak Terhindarkan
Pengerukan pasir laut, atau sedimen pasir seperti yang disebutkan oleh pemerintah, memiliki dampak yang sangat destruktif terhadap ekosistem laut. Beberapa dampak lingkungan yang muncul antara lain sebagai berikut.
Pertama, kerusakan ekosistem pesisir dan terumbu karang. Ekosistem laut, termasuk terumbu karang, mangrove, dan padang lamun, merupakan penopang kehidupan masyarakat pesisir sekaligus penyeimbang ekologis.
Pengerukan pasir laut otomatis merusak habitat-habitat penting ini, mengancam keberlangsungan berbagai spesies laut yang bergantung pada ekosistem tersebut, dan dapat menimbulkan erosi pantai yang lebih parah.
Erosi pantai merupakan ancaman langsung bagi masyarakat pesisir, memicu banjir rob, dan menyebabkan hilangnya lahan produktif.
Kedua, perubahan arus laut dan kualitas air. Pengerukan pasir laut dapat mengubah pola arus laut yang berdampak pada distribusi nutrisi di laut.
Terumbu karang, yang sangat sensitif terhadap perubahan iklim, dapat terpengaruh oleh peningkatan kekeruhan air, mengurangi kemampuan fotosintesis alga simbiotik yang hidup di dalam karang.
Dalam jangka panjang, ini dapat memicu kematian massal terumbu karang, yang merupakan rumah bagi 25% kehidupan laut di seluruh dunia.
Ketiga, potensi peningkatan risiko tsunami. Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya pasir di daerah pesisir dapat meningkatkan risiko terjangan tsunami.
Pasir di pantai berfungsi sebagai penyangga alami yang mampu menyerap energi dari gelombang besar.
Dengan berkurangnya pasir di pesisir akibat eksploitasi, tentu masyarakat pesisir menjadi lebih rentan terhadap bencana alam.
Selain berdampak ekologis, kebijakan ekspor pasir laut ini juga menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat yang hidup di daerah pesisir.
Mayoritas masyarakat pesisir Indonesia bergantung pada sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik melalui perikanan maupun pariwisata.
Kehilangan lahan pantai akibat abrasi, penurunan hasil tangkapan ikan, serta kerusakan terumbu karang yang menjadi daya tarik pariwisata, dapat memicu krisis ekonomi di daerah-daerah ini.
Abrasi pantai yang disebabkan oleh pengerukan pasir dapat menyebabkan hilangnya pemukiman, lahan pertanian, serta infrastruktur-infrastruktur penting.
Sebagai contoh, abrasi di wilayah pesisir utara Jawa telah mengakibatkan ribuan hektar sawah produktif terendam air laut dan ratusan rumah rusak parah.
Jika praktik ini diteruskan tanpa pengawasan yang ketat, masyarakat pesisir akan semakin terdampak, terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketidakamanan.
Ekspor Pasir Laut: Apakah Benar-benar Menguntungkan?
Pemerintah nampaknya mengandalkan argumen bahwa ekspor pasir laut dapat memberikan pemasukan tambahan bagi negara.
Namun, pertanyaannya seberapa besar keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari ekspor pasir laut ini, jika dibandingkan dengan kerugian jangka panjangnya?
Memang, penjualan pasir laut dapat menghasilkan pendapatan dalam jangka pendek, terutama di tengah permintaan global yang tinggi untuk bahan bangunan dan reklamasi lahan.
Namun, keuntungan ini kemungkinan hanya dapat dinikmati oleh segelintir elite ekonomi, sementara kerugian akibat kerusakan lingkungan harus ditanggung oleh masyarakat pesisir dan generasi mendatang.
Negara harus mempertimbangkan biaya jangka panjang yang akan timbul akibat kerusakan ekosistem, seperti biaya mitigasi abrasi, rehabilitasi terumbu karang, dan pemulihan ekosistem pantai yang rusak.
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan keindahan alam yang luar biasa, sangat bergantung pada sektor pariwisata, terutama di daerah pesisir.
Dengan rusaknya pantai-pantai yang menjadi tujuan wisata, Indonesia berisiko kehilangan salah satu sumber pendapatan terbesar dari sektor pariwisata.
Keindahan alam Indonesia adalah aset yang tak tergantikan, dan eksploitasi pasir laut yang merusak ekosistem pesisir bisa menyebabkan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar ketimbang keuntungan ekspor pasir.
Jalan Keluar: Kebijakan Berbasis Keberlanjutan
Langkah yang diambil pemerintah untuk membuka ekspor pasir laut ini seolah menunjukkan bahwa ekonomi jangka pendek lebih diutamakan ketimbang keberlanjutan.
Namun, dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan krisis ekologis global, kebijakan yang merusak lingkungan seharusnya tidak lagi menjadi pilihan.
Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan penerapan kebijakan ekonomi yang berbasis pada prinsip pembangunan berkelanjutan.
Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah program rehabilitasi ekosistem pesisir yang melibatkan masyarakat setempat sebagai bagian dari upaya mitigasi kerusakan lingkungan.
Selain itu, pemerintah dapat mengembangkan industri berbasis jasa di sektor pariwisata atau perikanan yang ramah lingkungan, yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Keputusan membuka keran ekspor pasir laut, terlepas dari pembelaan yang diajukan oleh pihak pemerintah, tetap berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius di masa mendatang.
Masyarakat pesisir akan menjadi pihak yang paling merasakan dampak negatif dari kebijakan ini, sementara keuntungan ekonomi yang dijanjikan, tampaknya tidak sebanding dengan kerusakan yang akan dihasilkan.
Pemerintah Indonesia perlu mengkaji dan mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mengambil langkah-langkah yang lebih berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang untuk melindungi ekosistem laut yang merupakan salah satu aset terbesar negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H