Bagi seseorang yang sudah memiliki kehidupan profesional atau keluarga yang mapan, kesulitan untuk membagi waktu antara studi, pekerjaan, dan kehidupan pribadi bisa menjadi faktor penghalang utama.
Kedua, Tekanan Mental dan Emosional
Studi doktoral bukan hanya menantang dari segi akademis, tetapi juga dari segi mental dan emosional.
Mahasiswa doktoral sering kali diperhadapkan pada tuntutan tinggi dari supervisor, tekanan untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas, hingga tantangan dalam mempertahankan motivasi di tengah jalan yang panjang dan berliku.
Kondisi ini dapat menyebabkan beberapa masalah serius seperti stres, kecemasan, bahkan kelelahan mental yang berkelanjutan.
Selain itu, ada perasaan isolasi yang kerap kali dirasakan oleh mahasiswa doktoral.
Berbeda dengan program sarjana atau magister yang umumnya diisi dengan interaksi kelas dan kerja kelompok, studi doktoral lebih bersifat mandiri.
Itu sebabnya, mahasiswa sering kali harus berjuang sendiri dengan penelitian mereka, yang membuat proses ini terasa sangat sunyi dan melelahkan.
Ketiga, Ketidakpastian Karir
Tidak semua lulusan doktor mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan ekspektasi mereka.
Meskipun gelar doktor menunjukkan keahlian di bidang tertentu, banyak orang yang merasakan ketidakpastian dalam prospek karir setelah lulus.
Posisi akademik yang terbatas, persaingan ketat di dunia industri, serta ketidakcocokan antara gelar doktor dan peluang kerja di luar akademisi membuat sebagian orang ragu apakah investasi waktu dan tenaga yang besar itu sepadan dengan hasil yang didapatkan.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, peluang karir di dunia akademis terbatas, sementara itu di sektor industri, gelar doktor tidak selalu menjadi prasyarat untuk posisi-posisi strategis.