Langkah ini tidak hanya memberikan bantuan yang diperlukan, tetapi juga menunjukkan bahwa gereja peduli dengan kesejahteraan mental jemaatnya.
Ketiga, Ciptakan Ruang Aman dalam Ibadah dan Kegiatan Gereja
Bagi banyak orang, gereja adalah tempat berlindung dari dunia luar yang keras. Namun, bagi mereka yang merasa minoritas, baik karena masalah mental atau alasan lainnya, gereja bisa menjadi tempat yang menakutkan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi gereja untuk menciptakan ruang aman dalam setiap ibadah dan kegiatan.
Ini bisa diwujudkan dengan memperhatikan bahasa yang digunakan dalam khotbah dan kegiatan, serta dengan mengadakan program yang inklusif dan mendukung semua jemaat, tanpa memandang kondisi mereka.
Keempat, Menjadi Teman yang Mendampingi, Bukan Menghakimi
Gereja harus menjadi tempat di mana setiap orang merasa didengarkan dan diterima, bukan dihakimi. Ketika seseorang berbagi tentang perjuangan mereka dengan kesehatan mental, maka respons gereja haruslah penuh empati dan dukungan.
Ini berarti bahwa, kita perlu belajar menjadi teman yang mendampingi, yang hadir tanpa menghakimi atau memberikan solusi instan.
Menunjukkan kehadiran yang penuh kasih dan empati dapat menjadi penyembuhan tersendiri bagi mereka yang sedang berjuang.
Kelima, Advokasi Kesehatan Mental di Semua Ruang Hidup
Advokasi untuk kesehatan mental tidak boleh berhenti di dalam gereja saja. Setiap individu di dalam gereja harus menjadi advokat kesehatan mental di mana pun mereka berada---di tempat kerja, di rumah, atau di lingkungan sosial.
Dengan mempromosikan kesadaran tentang kesehatan mental dan mengurangi stigma di berbagai ruang hidup, kita bisa membangun komunitas yang lebih peduli dan inklusif.
Sebagai penutup: Gereja memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung kesehatan mental jemaatnya.
Dengan menghentikan stigma, menyediakan akses ke layanan kesehatan mental, menciptakan ruang aman, menjadi teman yang mendampingi, dan melakukan advokasi, gereja dapat menjadi tempat yang benar-benar mencerminkan kasih Kristus.