Kematian seseorang tidak bisa diprediksi. Kematian selalu datang tiba-tiba dalam keadaan apapun. Ia menimpa siapa saja, mulai dari yang muda hingga tua.
Baru-baru ini, kita mendengar kabar duka yang datang dari penyelengaraan Kejuaraan Bulutangkis Junior Asia 2024 yang sedang berlangsung di Yogyakarta.
Pemain bulutangkis muda dan berprestasi asal Cina, Zhang Zhi Jie, meninggal dunia pada hari Minggu 30 Juni 2024, setelah tersungkur di lapangan.
Diketahui, saat kejadian, Zhang sedang bertanding melawan wakil tim Jepang, Kazuwa Kawano, dengan skor pertandingan 11-11.
Disebutkan bahwa saat terjatuh, Zhang tidak langsung mendapat pertolongan medis pertama. Tim medis turnamen baru bisa masuk ke arena pertandingan, setelah mendapat restu (baca: panggilan) dari wasit (referee).
Setelah mendapat perawatan pertama, tim medis turnamen memutuskan untuk merujuk Zhang ke rumah sakit terdekat menggunakan ambulans.
Penanganan dilakukan selama tiga jam, namun nasib berkata lain, nyawa sang bulutangkis muda bertalenta asal Cina itu tidak tertolong lagi. Tim medis kemudian menyatakan Zhang meninggal dunia karena henti jantung mendadak pada pukul 20.50 WIB.
Kematiannya kemudian mendapat sorotan publik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, terutama berkenaan dengan prosedur standar operasi (SOP) yang berlaku di setiap turnamen bulutangkis internasional dari Badminton Asia dan Badminton World Federation (BWF).
Regulasi BWF Dinilai Terlalu Kaku
Menurut aturan BWF, seperti dikutip dari KOMPAS.TV, wasit diwajibkan untuk menangani cedera atau penyakit atlet dengan hati-hati dan fleksibel, serta segera menilai tingkat keparahannya.
Kalau perlu, wasit harus memanggil kepala wasit untuk memutuskan apakah dokter turnamen atau personel lain perlu memasuki area pertandingan.
Aturan lain menyebutkan jika pemain memohon kepada wasit untuk menerima bantuan medis, wasit harus memanggil wasit lain ke lapangan dengan mengangkat tangan kanannya sebagai syarat banding untuk cedera atau penyakit yang nyata.