Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Narablog

Senang traveling dan senang menulis topik seputar Sustainable Development Goals (SDGs).

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Artikel Utama

Nasib Tukang Ojek Sepeda Ontel di Sudut Jakarta Kini

26 Juni 2024   14:48 Diperbarui: 27 Juni 2024   11:41 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agus (69), tukang ojek sepeda ontel di persimpangan jalan Bandengan Selatan, Rabu 26 Juni 2024 | Sumber: Dokumen pribadi/Billy

Di tengah menjamurnya ojek sepeda motor berbasis online (Ojol) kini, para tukang ojek sepeda ontel di Jakarta masih tetap beroperasi.

Para pengayuh pedal itu, bertahan dengan penghasilan yang tak menentu. Ada hal yang membuat mereka bersyukur, sehingga mampu bertahan di tengah perkembangan zaman.

Di persimpangan jalan Bandengan Selatan, Agus (69 tahun), duduk dekat tiang listrik berwarna gelap. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, sambil berharap ada orang yang membutuhkan jasanya.

"Sudah dapat penumpang, Pak" tanya saya membuka percakapan.

"Sudah satu orang, Dek. Tadi pagi, saya nganter dari depan pos Polisi Jembatan Lima ke Bandengan Selatan".

"Dibayar berapa, Pak?"

"Rp 4 ribu. Ya, namanya juga usaha, Dek".

Pria asal Batu Ceper, Jakarta Pusat ini mengaku sudah menarik sepeda ontel selama 20 tahun sejak masih muda.

Menurutnya, pada zaman dulu, ojek sepeda masih ramai diminati masyarakat. Sekarang, ojek sepeda sudah jarang diminati, karena zaman sudah modern.

"Sekarang sudah susah, Dek. Orang-orang sudah beralih menggunakan ojek online".

"Biasanya, nganter penumpang ke mana saja, Pak?"

"Ya ke Pasar Pagi, Bandengan Selatan, Pancoran, dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Yang dekat-dekat sajalah, Dek".

Bekerja dari subuh pukul 06.00 hingga malam pukul 19.00, Agus mengenakan tarif ojek sepeda Rp 5 ribu untuk jarak dekat, Rp 10 ribu untuk jarak menengah, dan Rp 15 ribu untuk jarak jauh.

Pria berusia kepala enam ini, selain mengantar penumpang, juga mengantar barang. Ia pernah mengantar barang ke Tanah Abang.

"Sekarang sudah enggak kuat narik barang, Dek. Kalau masih muda dulu, sering."

Matahari semakin tinggi di langit, saya yang mulai kepanasan mengajak Pak Agus untuk berteduh, sambil makan kue bolu yang saya beli di kios dekat pangkalan sepedanya.

"Kalau narik dari pagi hingga malam, biasanya dapat perapa rupiah, Pak?"

"Ya enggak tentu, Dek. Kadang enggak dapat, kadang dapat Rp 30 ribu. Yang penting bisa untuk dahar (makan), ngopi dan beli sabun mandi".

Agus mengaku, kadang-kadang, ketika ia mangkal di jembatan Pejagalan Raya arah ke Pasar Pagi, ia dan kawan-kawannya suka dikasi nasi oleh orang yang lewat.

"Bapak enggak mau coba pekerjaan lain?"

"Saya enggak ada pengalaman kerja, Dek. Sekolah saya hanya sampai kelas 3 SD. Kalau buruh bangunan, mungkin saya mau".

Meski pekerjaannya hanya tukang ojek sepeda ontel, Agus sukses membesarkan satu orang anak laki-lakinya yang sekarang sudah berumah tangga.

Kini, penghasilnya hanya untuk menghidupi dirinya sendiri, sebab istrinya sudah lama meninggal dunia.

"Kalau ada sisa uang hasil ojek sepeda, biasanya diapain, Pak?"

"Ya, di simpan, Dek. Tapi, kalau tidak dapat penumpang, uangnya dipakai lagi."

Itu artinya, Agus tidak punya uang tabungan sama sekali, karena selalu habis terpakai untuk kebutuhan sehari-hari. Meski demikian, ia mampu bertahan hidup dari mengandalkan ojek sepeda ontel selama 20 tahun.

Agus dan kawan-kawannya yang mangkal di persimpangan Jalan Bandengan Selatan dan di jembatan Pejagalan Raya, tentu kurang bernasib baik, ketimbang para tukang ojek sepeda di kawasan Kota Tua.

Jika anda berkunjung ke Kota Tua, Jakarta Barat, anda akan menjumpai sejumlah tukang ojek sepeda yang menjajakan jasanya di sekitaran Stasiun Jakarta Kota dan di depan Museum Fatahillah.

Jika diperhatikan secara saksama, penampilan tukang ojek di dua lokasi tersebut sangat mencolok, terutama dalam hal atribut.

Kalau tukang ojek sepeda yang mangkal di depan Stasiun Jakarta Kota itu membawa sepeda-sepeda ontelnya berwana gelap dengan pakaian ala kadarnya.

Sedangkan, tukang ojek sepeda yang berada di depan Museum Fatahilla mayoritas sepeda ontelnya dicat warna-warni, pengemudi ojeknya menggunakan pakaian cukup rapi.

Ojek sepeda di kawasan ini, memang, diperuntukan bagi para wisatawan yang hendak berkeliling Kota Tua. Pasalnya, sekali keliling Rp 75 ribu.

Menurut laporan KOMPAS.com, kelompok tukang ojek sepeda yang berada di depan Museum Fatahillah diorganisir oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Penataan dan Pengembangan Kota Tua.

Sedangkan, kelompok tukang ojek sepeda yang di depan Stasiun Jakarta Kota di luar tanggung jawab UPT Kota Tua.

Kelihatan bedanya, bahwa tukang ojek sepeda yang diorganisir oleh UPT Kota Tua nasibnya lebih baik ketimbang tukang ojek di kawasan Pejagalan dan di depan Stasiun Jakarta Kota yang tidak diorganisir.

Fenomena ini tentu perlu disikapi oleh pemerintah. Sayang kan, kalau para pengayuh pedal ini, akhirnya hilang dari Jakarta.

Sebab bagaimana pun, keberadaan ojek sepeda ontel sangat penting untuk mendukung kota Jakarta yang ramah lingkungan; kota yang bebas dari polusi udara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun