Meski pekerjaannya hanya tukang ojek sepeda ontel, Agus sukses membesarkan satu orang anak laki-lakinya yang sekarang sudah berumah tangga.
Kini, penghasilnya hanya untuk menghidupi dirinya sendiri, sebab istrinya sudah lama meninggal dunia.
"Kalau ada sisa uang hasil ojek sepeda, biasanya diapain, Pak?"
"Ya, di simpan, Dek. Tapi, kalau tidak dapat penumpang, uangnya dipakai lagi."
Itu artinya, Agus tidak punya uang tabungan sama sekali, karena selalu habis terpakai untuk kebutuhan sehari-hari. Meski demikian, ia mampu bertahan hidup dari mengandalkan ojek sepeda ontel selama 20 tahun.
Agus dan kawan-kawannya yang mangkal di persimpangan Jalan Bandengan Selatan dan di jembatan Pejagalan Raya, tentu kurang bernasib baik, ketimbang para tukang ojek sepeda di kawasan Kota Tua.
Jika anda berkunjung ke Kota Tua, Jakarta Barat, anda akan menjumpai sejumlah tukang ojek sepeda yang menjajakan jasanya di sekitaran Stasiun Jakarta Kota dan di depan Museum Fatahillah.
Jika diperhatikan secara saksama, penampilan tukang ojek di dua lokasi tersebut sangat mencolok, terutama dalam hal atribut.
Kalau tukang ojek sepeda yang mangkal di depan Stasiun Jakarta Kota itu membawa sepeda-sepeda ontelnya berwana gelap dengan pakaian ala kadarnya.
Sedangkan, tukang ojek sepeda yang berada di depan Museum Fatahilla mayoritas sepeda ontelnya dicat warna-warni, pengemudi ojeknya menggunakan pakaian cukup rapi.
Ojek sepeda di kawasan ini, memang, diperuntukan bagi para wisatawan yang hendak berkeliling Kota Tua. Pasalnya, sekali keliling Rp 75 ribu.