Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau yang dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs) berisi 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.
Khususnya, poin ke-7 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terkait dengan "energi bersih dan terjangkau" dengan 5 target sebagai berikut. (Sumber: SEMAI Edisi Khusus 2019).
1. Menjamin akses universal terhadap layanan energi yang terjangkau, andal, dan modern;
2. Meningkatkan secara substansial proporsi energi terbarukan dalam energi global;
3. Meningkatkan dua kali lipat angka perbaikan efisiensi energi global;
4. Memperkuat kerjasama internasional untuk memfasilitasi akses terhadap teknologi dan riset energi bersih termasuk energi terbarukan, efisiensi energi, teknologi bahan bakar fosil lebih bersih dan maju, serta meningkatkan investasi infrastruktur energi dan teknologi energi bersih;
5. Memperluas infrastruktur dan meningkatkan teknologi penyedia layanan energi modern dan berkelanjutan untuk semua negara berkembang, khususnya negara kurang berkembang, negara berkembang kepulauan kecil, dan negara berkembang terkurung daratan, sesuai program dukungan masing-masing.
Akses terhadap energi bersih dan terjangkau tertuang dalam kebijakan baik di tingkat nasional maupun wilayah antara lain sebagai berikut. (Sumber: SEMAI Edisi Khusus 2019).
1. Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi;
2. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 yang diterjemahkan ke dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025;
3. Peraturan Pemerintah N0. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional;
4. Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Secara global, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan mempunyai prinsip yaitu "tidak seorangpun boleh ditinggalkan dalam pembangunan", termasuk kaum perempuan.
Kenyataannya, perempuan terkadang tidak dilibatkan dalam perencanaan kebijakan bidang energi, juga tidak mendapat informasi dan pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan energi.
Selama ini, perempuan lebih banyak bertindak sebagai konsumen energi. Perempuan menggunakan energi untuk memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, menyimpan ASI, mengasuh anak, termasuk memastikan anak belajar dengan nyaman.
Menurut laporan KOMPAS.id, keterlibatan perempuan dalam sektor energi hanya mencapai 32% dibandingkan laki-laki yang mencapai 68%.
Bahkan, 32% perempuan itu pun lebih banyak ditempatkan pada bagian administratif, seperti sekretaris, bukan posisi strategis di sektor energi.
Di Indonesia, perempuan masih dipandang sebelah mata, karena pandangan stereotip bahwa sektor energi merupakan pekerjaan laki-laki, karena sifat pekerjaannya yang terkesan berat dan berbahaya.
Tak jarang, perempuan dinilai kurang pantas untuk menjalankan pekerjaan laki-laki di sektor energi. Padahal, potensi perempuan dalam mewujudkan energi bersih terbarukan (EBT) sangat besar.
Karena perempuan bertanggung jawab mengurus rumah tangga, maka perempuan mimiliki segudang informasi mengenai sumber-sumber potensial yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi bersih terbarukan.
Misalnya, perempuan yang tinggal di wilayah perdesaan telah terbiasa menggunakan kayu/ranting sebagai sumber energi untuk memasak atau menghangatkan hewan ternaknya.
Mama-mama di pedalaman Maluku sudah terbiasa menggunakan daun-daun/kotoran ternak sebagai sumber pupuk bagi tanaman dan memanfaatkan matahari/angin untuk mengeringkan pakaian, dan hasil perkebunan seperti buah cengkeh, dan pala.
Dengan sumber daya alam yang melimpah ruah di lingkungan sekitar tempat tinggal, perempuan-perempuan dapat dengan mudah menghasilkan api untuk membantu memenuhi keperluan hidup sehari-hari.
Sumber-sumber energi lain yang ada di sekitar kita, seperti kotoran manusia, air terjun, gelombang laut, sampah, dan lain sebagainya.
Namun, sangat disayangkan, tidak semua perempuan dapat mengolahnya dengan baik, karena mereka tidak mendapat informasi dan pengetahuan yang baik tentang energi.
Karena itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) perlu mendorong pelibatan kaum perempuan lebih besar lagi di sektor energi terbarukan.
Ini bisa dilakukan dengan cara memberi kesempatan bagi kaum perempuan untuk kuliah dalam bidang sains dan teknologi.
Atau, minimal memperlengkapi mereka dengan pelatihan-pelatihan khusus tentang cara mengolah sumber alam di sekitar tempat tinggal menjadi energi bersih terbarukan yang bermanfaat untuk urusan domestik atau urusan produksi berskala kecil.
Hal ini sejalan dengan poin SDGs ke-5 terkait kesetaraan gender dengan tujuan untuk memberdayakan seluruh perempuan dengan potensinya masing-masing.
Sebagai kesimpulan: kaum perempuan bukan hanya pengguna dan penikmat energi, tapi mereka juga mampu mengembangkan dan menghasilkan energi bersih terbarukan.
Peningkatan partisipasi perempuan dalam pengembangan EBT ini perlu dilakukan oleh Pemerintah, supaya perempuan-perempuan lebih produktif, lebih sehat, mampu mengurangi beban keuangan rumha tangga, dan berperan serta dalam pembangunan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2HArtikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya