Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Berbagi opini seputar Sustainable Development Goals (SDGs) terutama yang terpantau di Jakarta. Melalui opini yang dituangkan, saya mengajak pembaca untuk lebih memahami dan menyadari konsep keberlanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Hutan Mangrove, Oase di Tengah Permukiman Muara Angke

11 Juni 2024   21:23 Diperbarui: 12 Juni 2024   20:45 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas ngantor tadi sore, sekitar pukul 16.00 WIB, saya langsung menyambangi kawasan hutan mangrove di tengah permukiman Muara Angke, Jakarta Utara.

Saat memasuki kawasan permukiman Muara Angke, saya mengalami sedikit kecelakaan. Saya tidak sengaja menyenggol bagian belakang sepeda motor seorang warga yang hendak berbelok arah.

Bersyukur, tidak ada korban jiwa dan kerusakan sepeda motor pada peristiwa itu, karena memang kecepatan sepeda motor saya kurang dari 20 km per jam.

Sebenarnya, ketika melewati area permukiman, sekolah, dan tempat-tempat beraktivitas, pengendara perlu membatasi kecepatan maksimal 30 km per jam. Hal ini pernah disampaikan oleh Pak Budi Setiyadi, Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub.

Saya terus mengenderai sepeda motor ke arah Pelabuhan Muara Angke. Cuaca panas dan bau amis begitu terasa sepanjang perjalanan.

Akan tetapi, cuaca panas dan bau amis itu mendadak hilang, ketika saya melangkahkan kaki memasuki area hutan mangrove.

Kalau kalian ke arah Pelabuhan Muara Angke, lokasinya persis di sebelah kanan dekat dengan Lapangan Sepak Bola yang berada di sebelah kiri.

Saya tiba di lokasi sekitar pukul 17.00 WIB - melewati pintu kecil yang menyatu dengan tembok pembatas hutan mangrove setinggi 5 meter.

Tembok setinggi ini sengaja dibangun untuk mencegah air meluap ke permukiman warga. Di dalam lokasi, saya bertemu dengan seorang penjaga hutan mangrove, namanya Bapak Haji Husen.

"Permisi Pak, bolehkah saya lihat-lihat sebentar hutan mangrovenya?" tanya saya. 

"Oh, boleh silakan," jawabnya.

Saya segera menaiki jembatan kayu yang dibangun di atas permukaan air. Dari atas jembatan, saya bisa menyaksikan sekelompok burung bangau putih yang terbang dan hinggap di pepohonan mangrove.

Di ujung jembatan, tampak matahari mulai tenggelam. Indah sekali di sini. Saya bertemu dengan seorang anak laki-laki yang sedang memancing ikan mujair.

"Pakai umpan apa dek?" tanya saya. 

"Cacing", jawabnya singkat. 

Saya menengok hasil tangkapannya, lumayan dapat empat ekor ikan mujair.

Setelah sejenak menikmati sunset, hijaunya hutan mangrove, dan sekelompok burung bangau putih yang bermain, saya pun kembali ke darat untuk ngobrol dengan Pak Husein.

Beliau menceritakan bahwa di area ini sering masuk sampah dari warga sekitar. Pernah sekali waktu, sampah diangkut sekitar tiga truk.

Lanjut Pak Husein, dulu air di di sini cukup jernih, sekarang sudah kotor berwarna hijau karena tercemar limbah dari warga sekitar dan proyek pembangunan transmisi listrik Jawa-Bali.

Akibat proyek tersebut, banyak ikan yang mati. Beliau mengeluh karena pembangunan transmisi Jawa-Bali tidak meminta izin dari beliau selaku penjaga hutan mangrove.

Menurut informasi Pak Husein, hutan mangrove di area ini terdiri dari dua jenis, yaitu Mangrove Api-Api (Avicennia lanata) dan Mangrove Minyak (Rhizophora apiculata) - dikelola oleh lembaga swadaya. Warga bebas masuk tanpa dipungut biaya.

Ketika sedang asyik ngobrol, tiba-tiba seekor burung bangau berusia remaja terbang dan hinggap di atas sepotong bambu yang ditancapkan ke dalam air.

Sesaat saya mengamatinya, burung bangau itu berwana abu-abu, paruh dan kakinya panjang. Ia cukup dekat dengan tempat kami duduk.

Spontan saya langsung mengambil handphone dari dalam saku celana dan memotret burung bangau itu. Senang sekali bisa melihat burung bangau dari dekat.

Pak Husein mengatakan, ada empat ekor burung bangau yang ia pelihara sejak kecil, termasuk yang hinggap di atas sepotong bambu ini. Sambil menunjuk ke arah burung ia berujar, "Itu ada tali di kakinya, saya yang ikat".

Tidak terasa, hari sudah mulai gelap; sudah sekitar satu jam kami ngobrol. Saya lalu minta izin untuk pamit pulang. Namun, sebelum pulang, saya meminta kesediaan beliau untuk foto bareng sebagai kenang-kenangan.

Foto bareng Pak Haji Husen, penjaga hutan mangrove | Sumber gambar: Dokumentasi pribadi/Billy
Foto bareng Pak Haji Husen, penjaga hutan mangrove | Sumber gambar: Dokumentasi pribadi/Billy

Saya berharap Pemerintah dapat menggandeng Pak Husein dan menjadikan kawasan hutan mangrove ini sebagai salah satu destinasi wisata di Muara Angke.

Kan bagus ya, di tengah-tengah pemukiman padat penduduk terdapat ruang hijau (hutan mangrove). Ia laksana oase yang dapat menyegarkan warga sekitar.

Saya mengajak seluruh warga sekitar Pelabuhan Muara Angke untuk tidak lagi membuang sampah sembarangan, sebab dapat mencemari lingkungan: air dan hutan bakau.

Apabila air dan hutan bakau rusak, maka sudah tidak ada tempat lagi bagi hewan laut dan darat seperti ikan, kepiting, burung, dan biawak untuk tinggal. Pada akhirnya, kita sendiri yang menderita, bukan?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun