Hal senada disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, seperti yang dikutip dari ALINEA.id, di Indonesia akan sulit diterapkan gagasan "pulau sampah" seperti di Singapura.
Trubus menjelaskan alasannya bahwa di Kepulauan Seribu masih banyak pulau yang kosong. Diketahui jumlah pulau di Kepulauan Seribu sekitar 342 pulau. Dari jumlah itu, hanya sekitar 14 pulau yang berpenghuni, selebihnya merupakan pulau-pulau tidak berpenghuni yang dijadikan cagar alam, taman nasional laut, dan pulau wisata.
Justru pembangunan pulau baru untuk pengelolaan sampah bakal merusak pulau-pulau sekitarnya. Ekosistem laut bakal rusak karena ditimbun lumpur dan sampah yang nantinya disulap jadi pulau baru. Trubus mengambil contoh reklamasi pulau yang akhirnya menghancurkan terumbu karang di utara Jakarta.
Trubus melanjutkan, Pulau yang tujuannya sebagai tempat penampungan dan pengolahan sampah juga bisa berpotensi mencemari laut, yaitu ketika limbah secara tidak sengaja terbuang ke dalam laut. Jika limbahnya beracun, maka kualitas laut di perairan Kepulauan Seribu menjadi tidak sehat.
Ketika ekosistem laut menjadi tidak sehat akibat pencemaran limbah, maka hal ini mempengaruhi sektor perikanan dan pariwisata Kepulauan Seribu.
Dalam sebuah wawancara ekslusif dengan RRI.co.id, Edy Mulyono -- salah satu warga Pulau Pari di Kepulauan Seribu menyuarakan kekhawatirannya terhadap wacana Pembangunan "pulau sampah" di Kepulauan Seribu.
Edy mengatakan bahwa menjadikan Kepulauan Seribu sebagai destinasi akhir pembuangan sampah adalah sebuah langkah yang sungguh tidak didukungnya.
Ia menekankan bahwa laut yang menjadi sumber mata pencaharian warga Kepulauan Seribu sudah cukup tercemar. Pemerintah, seharusnya lebih memprioritaskan upaya-upaya pemulihan lingkungan daripada menambahkan beban pencemaran baru, ujarnya.
Tidak hanya itu, penduduk lokal juga menyoroti fakta bahwa pengelolaan sampah di Pulau Pari sendiri masih jauh dari optimal.
Meskipun upaya-upaya telah dilakukan seperti menghadirkan bank sampah dan pengolahan oleh masyarakat setempat telah dilakukan, namun volume sampah yang terus bertambah melalui ombak dan angin laut menjadi maslah serius yang sulit diatasi.
Sebagai kesimpulan, membangun "pulau sampah" di Kepulauan Seribu mungkin bermanfaat untuk mengurangi sampah di darat dan bisa digunakan dalam jangka waktu yang panjang hingga 100 tahun, tetapi metode ini berpotensi untuk merusak ekosistem laut.