Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Nominee Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Pulau Sampah" di Kepulauan Seribu: Solusi atau Ancaman bagi Lingkungan?

22 Mei 2024   15:51 Diperbarui: 22 Mei 2024   16:01 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu diambil dari atas pesawat. (Sumber gambar: bobo grid.id/Sigit Wahyu)

Dikutip dari ANTARA NEWS.com, pengelolaan sampah di Daerah Khusus Jakarta (DKJ) saat ini boleh dibilang sudah sangat darurat dan mengkhawatirkan.

Darurat dan mengkhawatirkan karena lahan penampungan dan pengelolaan sampah di Bantergebang, Bekasi diprediksi sudah kelebihan kapasitas pada tahun 2025, sehingga tidak mampu lagi menampung dan mengelola sampah dari warga Jakarta.

Karena kondisi inilah, maka Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mengusulkan pembangunan pulau baru untuk lokasi pengolahan sampah bagi wilayah aglomerasi, yaitu Jakarta, Bekasi, Bogor, Tangerang, Depok, dan Cianjur.

Heru menjelaskan bahwa pulau yang dibentuk nantinya akan berlokasi di Kepulauan Seribu dengan memanfaatkan sedimen atau lumpur yang dikeruk dari dasar 13 sungai wilayah Jakarta dan sampah-sampah masyarakat.

Ide pembangunan "pulau sampa" yang diusulkan oleh Pj Heru sebenarnya bukan ide yang baru. Dikutip dari KUMPARAN.com, ada dua negara yang telah sukses membangun fasilitas pengolahan sampah di pulau kecil, yaitu Singapura dan Maladewa.

Kedua negara tersebut bisa dijadikan sebagai best practice oleh negara-negara lain dalam upaya pengelolaan sampah berstandar global. Pertanyaannya, dapatkah Pemprov DKJ menerapkan pengelolaan sampah berstandar global di Kepulauan Seribu layaknya kedua negara tersebut?

Meskipun Pj Heru telah menjamin bahwa konstruksi pulau baru untuk pengelolaan sampah tidak akan mengakibatkan pencemaran lingkungan di sekitar perairan Kepulauan Seribu, namun banyak pihak yang mengkhawatirkan wacana tersebut.

Dikutip dari INFO INDONESIA.id, anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Yuke Yurike, menyarakan supaya Pj Heru berhati-hati dalam usulannya.

Yuke mengungkapkan kekhawatirannya bahwa perlu dilakukan studi kelayakan yang mendalam untuk memastikan pembangunan "pulau sampah" tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan laut sekitarnya.

Di samping itu, Yuke juga mengusulkan pentingnya keterlibatan para dan cendekiawan dalam proses perencanaan dan memastikan bahwa Jakarta memiliki fasilitas dan teknologi yang memadai.

Hal senada disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, seperti yang dikutip dari ALINEA.id, di Indonesia akan sulit diterapkan gagasan "pulau sampah" seperti di Singapura.

Trubus menjelaskan alasannya bahwa di Kepulauan Seribu masih banyak pulau yang kosong. Diketahui jumlah pulau di Kepulauan Seribu sekitar 342 pulau. Dari jumlah itu, hanya sekitar 14 pulau yang berpenghuni, selebihnya merupakan pulau-pulau tidak berpenghuni yang dijadikan cagar alam, taman nasional laut, dan pulau wisata.

Justru pembangunan pulau baru untuk pengelolaan sampah bakal merusak pulau-pulau sekitarnya. Ekosistem laut bakal rusak karena ditimbun lumpur dan sampah yang nantinya disulap jadi pulau baru. Trubus mengambil contoh reklamasi pulau yang akhirnya menghancurkan terumbu karang di utara Jakarta.

Trubus melanjutkan, Pulau yang tujuannya sebagai tempat penampungan dan pengolahan sampah juga bisa berpotensi mencemari laut, yaitu ketika limbah secara tidak sengaja terbuang ke dalam laut. Jika limbahnya beracun, maka kualitas laut di perairan Kepulauan Seribu menjadi tidak sehat.

Ketika ekosistem laut menjadi tidak sehat akibat pencemaran limbah, maka hal ini mempengaruhi sektor perikanan dan pariwisata Kepulauan Seribu.

Dalam sebuah wawancara ekslusif dengan RRI.co.id, Edy Mulyono -- salah satu warga Pulau Pari di Kepulauan Seribu menyuarakan kekhawatirannya terhadap wacana Pembangunan "pulau sampah" di Kepulauan Seribu.

Edy mengatakan bahwa menjadikan Kepulauan Seribu sebagai destinasi akhir pembuangan sampah adalah sebuah langkah yang sungguh tidak didukungnya.

Ia menekankan bahwa laut yang menjadi sumber mata pencaharian warga Kepulauan Seribu sudah cukup tercemar. Pemerintah, seharusnya lebih memprioritaskan upaya-upaya pemulihan lingkungan daripada menambahkan beban pencemaran baru, ujarnya.

Tidak hanya itu, penduduk lokal juga menyoroti fakta bahwa pengelolaan sampah di Pulau Pari sendiri masih jauh dari optimal.

Meskipun upaya-upaya telah dilakukan seperti menghadirkan bank sampah dan pengolahan oleh masyarakat setempat telah dilakukan, namun volume sampah yang terus bertambah melalui ombak dan angin laut menjadi maslah serius yang sulit diatasi.

Sebagai kesimpulan, membangun "pulau sampah" di Kepulauan Seribu mungkin bermanfaat untuk mengurangi sampah di darat dan bisa digunakan dalam jangka waktu yang panjang hingga 100 tahun, tetapi metode ini berpotensi untuk merusak ekosistem laut.

Oleh sebab itu, sebelum merealisasikannya Pemprov perlu untuk melibatkan banyak pihak, mulai dari akademisi, pemerhati lingkungan, hingga penduduk lokal Kepulaun Seribu, dan yang paling penting adalah memastikan bahwa Jakarta memiliki teknologi yang memadai dalam pengelolaan sampah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun