Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Nominee Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Gratis di Perguruan Tinggi, Bisakah Terwujud?

18 Mei 2024   18:53 Diperbarui: 28 Mei 2024   23:35 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisuda Magister Teologi STT Iman Jakarta 2023. (Sumber gambar: dokpri/Billy Steven Kaitjily)

Dapat dikatakan bahwa pendidikan di dalam suatu negara merupakan salah satu hal yang sangat fundamental untuk diperhatikan dan ditingkatkan. Mengapa penting untuk diperhatikan dan ditingkatkan?

Alasannya, sistem pendidikan yang berjalan dengan baik, secara langsung merupakan keberhasilan dari suatu negara dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia yang kelak akan memegang tanggung jawab suatu negara.

Sebaliknya, sistem pendidikan yang berjalan kurang baik, secara langsung merupakan kegagalan dari suatu negara dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia yang pada gilirannya akan berpengaruh pada suatu negara.

Menyadari hal ini, negara-negara maju seperti Finlandia, Slovenia, Jerman, dan Swedia menerapkan sistem pendidikan gratis bagi warga negaranya, bahkan bagi mahasiswa asing baik di sekolah negeri maupun swasta.

Sebagai negara yang masuk dalam kategori berkembang menuju maju, Indonesia memang belum menggratiskan biaya pendidikan tinggi. Biaya pendidikan gratis hanya difokuskan pada program wajib belajar 12 tahun, mulai dari level pendidikan dasar (SD) hingga pendidikan menengah atas (SMA).

Program wajib belajar 12 tahun ini baru dilaksanakan pada 2023 lalu, tujuannya untuk meningkatkan pencegahan potensi putus sekolah, strategi pendataan, penjangkauan, dan sinkronisasi upaya lintas sektor terutama dalam pencegahan dan penanganan ATS, serta kebijakan afirmasi pada peserta didik dari kelompok masyarakat miskin dan rentan. (Sumber: Laporan Tahunan SDGs 2023).

Sementara itu, di level perguruan tinggi, belum berlaku program pendidikan gratis. Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda pernah mengusulkan agar pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Dalam draft revisi UU Sisdiknas, program wajib belajar yang sebelumnya 9 tahun diubah menjadi 12 tahun atau sampai level SMA, bahkan beliau mendorong supaya program wajib belajar diubah lagi menjadi hingga jenjang perguruan tinggi. (Sumber: Liputan6.com).

Wacana tersebut diangkat lantaran banyak kisah anak-anak dari keluarga miskin yang potensial, namun tidak berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Di sisi lain, perusahaan milik negara atau swasta menuntut calon pegawai dengan latar belakang pendidikan minimal sarjana.

Kalau demikian, bagaimana nanti nasib masa depan anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan tinggi? Bagaimana nasib bangsa ini, jika sumber daya manusianya bukan merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi?

Jika Tidak Digratiskan, Minimal Murahlah

Saya kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS) hingga level Magister membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi, saya mengerti bila beberapa waktu lalu banyak mahasiswa yang protes kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN).

Seperti yang kita ketahui, sistem UKT ini diberikan kepada mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya. Maka dari itu, setiap mahasiswa akan memiliki nilai UKT yang berbeda-beda sesuai dengan golongan (baca: gaji orangtua).

Namun, yang terjadi adalah biaya UKT mendadak melambung tinggi, sehingga jauh dari kemampuan ekonomi mahasiswa. Terhadap masalah ini, pihak kampus hanya memberikan opsi supaya mahasiswa meminjam uang pada platform seperti pinjaman online (pinjol) untuk membayar UKT. Ini seperti mengajarkan mahasiswa untuk berhutang.

Parahnya lagi, respons dari Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie. Menurutnya, seperti yang dikutip dari Tribunnews.com, sebenarnya tidak ada keharusan setiap lulusan SMA untuk masuk perguruan tinggi.

Artinya, tidak seluruhnya lulusan SMA/SMK itu wajib masuk ke perguruan tinggi. Ini sifatnya pilihan. Berbeda dengan wajib belajar SD, SMP, dan SMA yang mendapat pendanaan khusus dari pemerintah. Untuk pendidikan tinggi, pemerintah hanya memberikan bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), lanjutnya.

Dari sini sebenarnya terlihat jelas bahwa respons dari pihak kampus maupun Kemendibud Ristek tidak memecahkan masalah terkait biaya UKT yang belakangan mendadak naik. Malah, respons kedua belah pihak dinilai memicu masalah baru.

Padahal, Konstitusi UUD 1995 mengamanatkan bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Selain itu, Peraturan Pemerintah 18/2022, pasal 80 dan 81 menegaskan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah membiayai pendidikan dengan alokasi anggaran 20% dari APBN dan APBD.

Jika Biaya Pendidikan Mahal, Ini Imbasnya

Apabila pihak pemerintah dan kampus tidak mencari cara terbaik untuk menurunkan biaya UKT, maka imbasnya adalah calon mahasiswa (camaba) bakal mengundurkan diri karena mereka tidak sanggup membayar UKT.

Dan, kemungkinan di masa yang akan datang kampus-kampus baik PTN maupun PTS di Indonesia bakal sepi mahasiswa. Apalagi Prof. Tjitjik Tjahjandrie telah mengatakan bahwa tidak ada keharusan bagi lulusan SMA atau sederajat untuk masuk ke perguruan tinggi.

Apabila kampus sepi peminatnya karena biaya UKT yang selangit (maksudnya mahal), maka imbasnya adalah angka kemiskinan semakin naik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena pendidikan merupakan faktor kunci dalam mengurangi/mengentaskan kemiskinan.

Pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau atau gratis memberikan individu dari semua kalangan keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan meningkatkan status ekonomi mereka.

Apabila kampus sepi peminatnya karena biaya UKT yang selangit, maka imbasnya adalah kemunduran dari sektor teknologi. Hal ini bisa terjadi karena pendidikan membekali individu dengan keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk mengembangkan teknologi dan inovasi baru.

Intinya, jika biaya pendidikan semakin mahal, hal ini akan berpengaruh pada jumlah mahasiswa yang mendaftar pada perguruan tinggi. Semakin sedikit SDM yang mendapatkan pendidikan berkualitas, semakin besar masalah yang dihadapi oleh pemerintah.

Maka dari itu, perguruan tinggi baik PTN maupun PTS, dan pemerintah baik pusat maupun daerah perlu mencari cara untuk menurunkan atau menggratiskan biaya kuliah. Kita perlu belajar pada negara-negara maju yang menerapkan pendidikan gratis bagi warganya.

Jika Biaya Pendidikan Digratiskan, Ini Untungnya

Menerapkan kebijakan pendidikan gratis di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta memiliki banyak keuntungan bagi kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa. Berikut ini adalah sejumlah keuntungan yang dipaparkan oleh Hasanuddin Wahid yang dikutip dari Kompas.com.

Selain dapat mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan ekonomi, dan mamajukan sektor teknologi, pendidikan gratis juga dapat meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan, mengurangi tingkat kejahatan, memperbaiki kesehatan individu, dan mengurangi kesenjangan gender.

Pendidikan gratis juga bisa membantu peningkatan pertumbuhan pribadi karena memberi individu mengalami pengembangan karakter, yang dapat meningkatkan martabat dan kepercayaan diri, mendorong peningkatan kesadaran dan pemahaman budaya, hingga mampu bersaing di kanca internasioal.

Singkatnya, pendidikan gratis memiliki potensi untuk memberikan berbagai hasil positif bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Pertanyaannya refleksi, mungkinkah pendidikan gratis di perguruan tinggi negeri dan swasta dapat terwujud di negeri kita tercinta ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun