Saya kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS) hingga level Magister membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi, saya mengerti bila beberapa waktu lalu banyak mahasiswa yang protes kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN).
Seperti yang kita ketahui, sistem UKT ini diberikan kepada mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya. Maka dari itu, setiap mahasiswa akan memiliki nilai UKT yang berbeda-beda sesuai dengan golongan (baca: gaji orangtua).
Namun, yang terjadi adalah biaya UKT mendadak melambung tinggi, sehingga jauh dari kemampuan ekonomi mahasiswa. Terhadap masalah ini, pihak kampus hanya memberikan opsi supaya mahasiswa meminjam uang pada platform seperti pinjaman online (pinjol) untuk membayar UKT. Ini seperti mengajarkan mahasiswa untuk berhutang.
Parahnya lagi, respons dari Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie. Menurutnya, seperti yang dikutip dari Tribunnews.com, sebenarnya tidak ada keharusan setiap lulusan SMA untuk masuk perguruan tinggi.
Artinya, tidak seluruhnya lulusan SMA/SMK itu wajib masuk ke perguruan tinggi. Ini sifatnya pilihan. Berbeda dengan wajib belajar SD, SMP, dan SMA yang mendapat pendanaan khusus dari pemerintah. Untuk pendidikan tinggi, pemerintah hanya memberikan bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), lanjutnya.
Dari sini sebenarnya terlihat jelas bahwa respons dari pihak kampus maupun Kemendibud Ristek tidak memecahkan masalah terkait biaya UKT yang belakangan mendadak naik. Malah, respons kedua belah pihak dinilai memicu masalah baru.
Padahal, Konstitusi UUD 1995 mengamanatkan bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Selain itu, Peraturan Pemerintah 18/2022, pasal 80 dan 81 menegaskan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah membiayai pendidikan dengan alokasi anggaran 20% dari APBN dan APBD.
Jika Biaya Pendidikan Mahal, Ini Imbasnya
Apabila pihak pemerintah dan kampus tidak mencari cara terbaik untuk menurunkan biaya UKT, maka imbasnya adalah calon mahasiswa (camaba) bakal mengundurkan diri karena mereka tidak sanggup membayar UKT.
Dan, kemungkinan di masa yang akan datang kampus-kampus baik PTN maupun PTS di Indonesia bakal sepi mahasiswa. Apalagi Prof. Tjitjik Tjahjandrie telah mengatakan bahwa tidak ada keharusan bagi lulusan SMA atau sederajat untuk masuk ke perguruan tinggi.
Apabila kampus sepi peminatnya karena biaya UKT yang selangit (maksudnya mahal), maka imbasnya adalah angka kemiskinan semakin naik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena pendidikan merupakan faktor kunci dalam mengurangi/mengentaskan kemiskinan.
Pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau atau gratis memberikan individu dari semua kalangan keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan meningkatkan status ekonomi mereka.