Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Berbagi opini seputar Sustainable Development Goals (SDGs) terutama yang terpantau di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Hutan Mangrove di Pesisir Utara Jakarta untuk Siapa?

27 April 2024   14:25 Diperbarui: 29 April 2024   08:16 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan mangrove di Muara Angke Kapuk, Jakarta Utara yang diambil Rabu (26/7/2023). (KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN)

Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan potensial untuk menghasilkan ekonomi bagi penduduk yang tinggal di pesisir. Akan tetapi, saat ini, kawasan tersebut menjadi salah satu yang paling terancam akibat perubahan iklim.

Meningkatnya permukaan air laut, merupakan salah satu dampak nyata dari perubahan iklim. Dengan meningkatnya permukaan laut, maka akan menyebabkan berkurangnya atau mundurnya garis pantai, sehingga dapat menimbulkan beberapa bencana seperti abrasi, banjir rob, dan bahkan hilangnya tanah di pesisir.

Untung saja, masih ada pelindung bagi kawasan tersebut dari ancaman perubahan iklim. Pelindung itu ialah hutan mangrove. Boleh dibilang, hutan mangrove, merupakan benteng pertahanan terakhir bagi kawasan pesisir dari perubahan iklim.

Diketahui, dari total luas 16,5 juta hektar mangrove dunia, sekitar 23 persennya berada di Indonesia. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mencatat bahwa hingga tahun 2021, luas ekosistem mangrove di Indonesia adalah 3,3 juta hektar.

Lahannya tersebar di hutan konservasi seluas 748.271 hektar, hutan lindung seluas 907.724 hektar, hutan produksi seluas 1 juta hektar, dan area penggunaan lain seluas 702.789 hektar. (Sumber: Kompas.id).

Berdasarkan catatan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta mengungkapkan kalau mangrove di Ibu Kota telah mengalami deforestasi (penebangan/penggundulan hutan) selama 8 tahun terakhir. (Sumber: cnnindonesia.com)

Berdasarkan catatan Walhi, sekitar 279 hektar mangrove hilang pada periode 2007-2020. Pada 2007, mangrove di Jakarta mencapai 341,9 hektar. Kemudian, pada 2013, berkurang menjadi 207,29 hektar. Pada 2018, berkurang lagi sebanyak 126,13 hektar, dan pada 2020 tinggal 63,25 hektar.

Dari jumlah yang tersisa itu, menurut Walhil, kondisi mangrove yang baik hanya sekitar 29,9 persen. Sedangkan, sisanya dalam keadaan sedang dan rusak. Duh miris banget.

Kondisi mangrove, khususnya, di wilayah pesisir utara Ibu Kota diperparah dengan kehadiran sampah plastik baik berukuran kecil maupun besar yang dibawa oleh sungai menuju ke muara teluk Jakarta.

Reza Cordova, peneliti pencemaran laut Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan tentang asal-usul sampah yang menumpuk dan menutupi wilayah hutan mangrove Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara.

Reza mengatakan bahwa sampah yang terperangkap di hutan mangrove Muara Angke itu bersumber dari Kali Adem, Kali Pluit, dan Kali Marunda -- lokasinya tidak jauh dari kawasan mangrove tersebut. Jaraknya sekitar 10 hingga 30 kilometer. (Sumber: Tempo.co).

Pertanyaannya, apa jadinya ya, kalau hutan mangrove di pesisir utara Jakarta rusak akibat tertutup sampah? Apa saja dampak yang ditimbulkan dari keruskan mangrove ini? Yuk, mari kita cek faktanya.

Tumpukan sampah di hutan mangrove Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. (Sumber gambar: detik.com)
Tumpukan sampah di hutan mangrove Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. (Sumber gambar: detik.com)

Perlu diketahui bahwasannya hutan mangrove memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan di wilayah pesisir dan berkontribusi bagi kesejahteraan penduduk yang menempati wilayah pesisir. Fungsi hutan mangrove bisa kita lihat dari dua kaca mata: kaca mata ekologis dan kaca mata ekonomis.

Pertama, kaca mata ekologis. Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi seperti tempat tinggal bagi satwa air seperti ikan, udang, penyu, dan kepiting. Juga, sebagai tempat tinggal bagi satwa darat seperti monyet ekor panjang, burung bangau bluwok, elang bondol, biawak, dan lain-lain.

Apabila hutan mangrove rusak, maka hewan-hewan yang tinggal di dalamnya akan kehilangan tempat tinggal, tempat menyimpan dan menetaskan telur, tempat berlindung, dan mengalami kematian. Dengan demikian, populasi mereka akan berkurang.

Pasalnya, kerusakan mangrove di Muara Angke, Jakarta Utara berdampak pada spesies burung bangau bluwok, bubut jawa, dan burung elang bondol. International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah menetapkan bangau bluwok sebagai spesies burung yang terancam punah.

Selain sebagai tempat tinggal bagi banyak satwa, fungsi ekologi hutan mangrove ialah untuk mencegah terjadinya abrasi. Akar mangrove dapat memecah gelombang sebelum menerpa pesisir. Pasalnya, pada Tsunami Aceh tahun 2004 silam, beberapa daerah lolos dari terpaan gelombang tsunami karena terlindung hutan mangrove.

Apabila hutan mangrove di Muara Angke rusak, hal ini akan membahayakan keselamatan penduduk yang mendiami wilayah pesisir dan menimbulkan kerusakan besar pada infranstruktur di Muara Angke, Jakarta Utara.

Barangkali, fungsi ekologi hutan mangrove yang paling penting ialah perannya dalam menyerap emisi karbon. Hutan mangrove di Indonesia, rata-rata, mampu menyerap 52,85 ton karbon diosida per hektar per tahun -- angka ini lebih tinggi dari estimasi global, yaitu 26,42 ton karbon diosida per hektar per tahun. (Sumber: Kompas.id).

Apabila hutan mangrove rusak, jumlah karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer. Jumlah karbon dioksida yang tinggi akan membuat udara kurang bersih dan menyebabkan efek gas rumah kaca (GRK), sehingga ujung-ujungnya menyebabkan pemanasan global yang berpotensi merusak bumi dan isinya.

Kedua, kaca mata ekonomis. Hutan mangrove dapat dimanfaatkan bagian-bagiannya, misalnya untuk dijadikan bahan baku kosmetik, farmasi, atau bahan tambahan tekstil. (Sumber: Mongabay.co.id).

Sementara itu, buah mangrove berpotensi sebagai sumber pangan, misalnya buah pedada yang bisa diolah menjadi sirup, buah bakau yang bisa diolah menjadi kopi, buah nipah yang bisa diolah menjadi kolang-kaling, dan lindur yang bisa diolah menjadi aneka kue. (Sumber: Lindungihutan.com).

Apabila hutan mangrove rusak, hal ini akan berdampak bagi perekonomian penduduk pesisir. Mereka akan kehilangan tempat untuk mencari ikan, udang, dan kepiting yang berlindung pada mangrove. Mereka tidak bisa lagi mendapatkan makanan dari buah mangrove baik untuk dikonsumsi sendiri, maupun untuk dipasarkan.

Mengetahui fungsi penting tanaman mangrove dan kondisinya yang semakin mengkwatirkan saat ini, lantas aksi nyata seperti apa yang bisa kita lakukan demi menyelamatkan hutan mangrove, khususnya di kawasan pesisir utara Jakarta?

Pertama, rehabilitasi hutan mangrove yang rusak perlu melibatkan masyarakat dan semua pemangku kepentingan. 

Penanganganan masalah rehabilitasi hutan mengrove ini perlu melibatkan masyarakat dan semua pemangku kepentingan. Partisipasi masyarakat dan semua pemangku kepentingan dapat menjadi kunci kesuksesan pembangunan hutan mangrove.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.03/MENHUT-V/2004, rehabilitasi hutan mengrove merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami degradasi, kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis.

Salah satu kawasan ekosistem pesisir Jakarta yang perlu direhabilitasi sebagai upaya pencapaian Sustainable Development Goals ke-15 (SDGs 15) adalah kawasan hutan mangrove yang berada di Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara.

Kawasan ini sering menjadi sorotan warganet karena ditutupi oleh sampah. Sampah-sampah yang didominasi oleh plastik tersebut, bahkan sampai membentuk dataran yang melandai seperti pinggir pantai. Sampah-sampah tersebut tidak lain dibawa oleh arus sungai dan laut.

Apabila sampah-sampah yang terjebak dalam hutan mangrove itu tidak dibersihkan akan menghalangi pertumbuhan mangrove dan membuat kualitas air di situ tidak sehat.

Karena itu, Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian (KPKP) akhirnya melakukan pembersihan di kawasan pantai mangrove Muara Angke dengan melibatlkan Dinas Lingkungan Hidup (LH).

Setelah aksi pembersihan dilakukan, langkah penting selanjutnya adalah menanam kembali mangrove di kawasan pesisir Muara Angke. Dalam aksi ini, Pemprov bisa melibatkan masyarakat dan semua pemangku kepentingan untuk menanam mangrove. Langkah ini, sekaligus menyadarkan masyarakat akan manfaat besar hutan mangrove bagi kehidupan di bumi.

Diketahui bahwa saat ini pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah melakukan aksi tanam serentak 25.000 mangrove di 25 lokasi di seluruh Indonesia sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. (Sumber: Menlhk.go.id).

Kedua, perlunya regulasi perlindungan hutan mangrove. Dalam upaya melestarikan hutan mangrove di Indonesia, dan khususnya di kawasan pesisir utara Jakarta, kita perlu regulasi khusus untuk melindungi keberadaan hutan mangrove.

Pasalnya, Rancangan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove itu telah dibahas sejak tahun 2022, namun hingga saat ini belum juga kunjung terbit. Apabila kita sudah punya regulasinya, maka kemungkinan ada sanksi bagi mereka yang dengan sengaja merusak hutan mangrove.

Semoga RPP tersebut dapat secepatnya terbit mengingat hutan mangrove di Indonesia, khususnya di wilayah pesisir utara Jakarta kian terancam oleh ulah manusia.

Dalam upaya pencapaian SDGs 15, saya mengajak seluruh masyarakat Jakarta Utara dan seluruh pemangku kepentingan untuk peduli hutan mangrove. Minimal, kita bisa saling mengingatkan untuk tidak membuang sampah ke sungai atau laut, sehingga tidak merusak ekosistem mangrove di pesisir pantai Muara Angke.

Saya ingin mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan refleksi: Milik siapa hutan mangrove di Muara Angke itu? Tentu jawabannya milik kita bersama; milik warga DKI Jakarta; bahkan milik bangsa Indonesia. Karena itu, kita perlu menjaga dan melindunginya demi keselamatan bumi di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun