Minggu, 14 April 2024, sesudah selesai ibadat di Jembatan Lima, saya dan istri kembali ke rumah di Meruya Utara, Jakarta Barat. Kami berangkat dari gereja sekitar pukul 19.15 WIB.
Karena masih libur Lebaran, jalanan ke arah Meruya Utara terpantau lancar. Pada hari biasa, di depan mal Taman Anggrek (TA), biasanya macet parah.
Rasanya senang banget kami melewati jalanan yang sepi. Tapi, kami sadar bahwa sebentar lagi Jakarta akan dilanda kemacetan lalulintas.
Dari depan mal TA, kami lurus terus ke arah Kebon Jeruk. Hingga akhirnya, kami tiba di Meruya Utara. Kami tidak langsung ke rumah, tapi kami mampir beli buah dulu di toko buah De King yang berlokasi di Jalan Haji Lebar.
Toko buah ini telah menjadi toko buah langganan kami sejak kami pindah domisili di Meruya Utara. Di sini, pilihan buahnya banyak dan harganya sangat terjangkau. Mungkin, karena itulah, tempat ini ramai pengunjungnya.
Saya menunggu di luar, sedangkan istri saya masuk untuk beli buah salak dan buah pisang. Kami berdua memang senang makan buah pisang dan salak.
Sementara istri saya asyik membeli buah, pandangan saya tertuju kepada dua orang pemulung, seorang ayah dan anak perempuannya -- sedang asyik memungut kardus bekas di emperan toko buah.
Saya menduga, usia sang ayah sekitar 40 tahun lebih, sedangkan usia anaknya sekitar 5 atau 6 tahun.
Tampak si anak sedang memegang mulut karung, sedangkan si ayah memungut kardus bekas untuk dimasukan ke dalam karung -- sebuah pemandangan yang memilukan.
Kedua pemulung ini, yang merupakan orangtua dan anak, sering kami lihat berkeliaran di sepanjang Jalan Haji Lebar.
Toko buah yang kami kunjungi menjadi tempat mereka mengambil kardus bekas dan beristirahat. Kemungkinan, para pengunjung toko, sering memberi mereka sedekah, entah dalam bentuk uang atau buah.
Biasanya, mereka membawa gerobak. Tapi, entah kenapa, malam itu kami tidak melihat gerobak mereka -- hanya satu karung berukuran jumbo yang dibawa mereka. Kami juga tidak melihat ibu anak tersebut.
Melihat pemandangan malam itu, timbulah belas kasihan di dalam hati kami untuk membagikan sedikit sedekah berupa buah kepada mereka.
Tidak banyak memang, tapi cukup untuk mengganjal perut mereka yang kosong sejak tadi siang. Istri saya menghampiri si anak dan memberikan buah yang baru dibelinya.
Saya melihat si anak tersenyum malu saat ia menerima buah dari itri saya, sementara ayahnya mengucapkan terima kasih.
Sebelum kami melanjutkan perjalanan ke rumah, saya menoleh ke anak perempuannya dan berkata: semangat, ya dek! Dia Kembali tersenyum malu.
Kami berdoa dalam hati, semoga Tuhan membukakan pintu rezeki-Nya kepada mereka. Semoga anak tersebut tumbuh menjadi orang yang sukses di kemudian hari, sehingga membanggakan kedua orangtuanya.
Setelah tiba di rumah, kami duduk makan buah sambil mengingat peristiwa tadi. Kami sangat bersyukur dapat berbagi makanan dengan kedua pemulung tadi.
Kisah sederhana yang dialami oleh saya dan istri di atas, mengajarkan kita untuk berempati terhadap orang-orang di sekitar kita, yang membutuhkan uluran tangan kita. Sekecil apapun bentuk sedekah kita, hal itu sangat berarti bagi mereka yang kita tolong.
Di tengah kesibukan dan kamacetan kota metropolitan seperti Jakarta, biarlah kita tetap peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Salam kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H