Pagi tadi, sekitar pukul 10.00 WIB, kami mencoba kano. Dikutip dari Wikipedia, Kano atau Wangkang adalah sebuah perahu kecil dan sempit, yang biasanya digerakkan dengan tenaga manusia (mendayung), namun ada juga yang menggunakan layar.
Bentuk kano pada umumnya lancip di kedua ujungnya dan terbuka di bagian atasnya, tetapi bagian ini bisa diberi tutup. Kano yang kami naiki  ujungnya lancip, dan di bagian belakangnya lebar. Bagian atasnya tertutup dan diberi tempat duduk penumpang.
Kami menyewa kano untuk satu jam, dengan harga Rp 60.000. Ada beragam warna kano, kuning, hitam, biru, dan hijau. Kami memilih warna biru, lengkap dengan dayungnya.
Sebelum jelajah pantai, penjaga kano mengingatkan, agar kami bermain tak jauh-jauh dari pantai. Karena bisa membahayakan keselamatan.
Kano diturunkan kedalam air, istri saya lebih dulu naik, lalu menyusul saya di belakangnya. Pengalaman saya sebagai nelayan di Saparua, Maluku Tengah membuat saya dengan mudah mengoperasikan kano. Satu dua kali mendayung, kano yang kami tumpangi meluncur cepat.
Pertama-tama, saya mengarahkan kano ke pulau kecil yang berada di seberang, tak jauh dari Pantai Pasir Perawan. Ya, sekitar 40 meter dari bibir pantai.
Sejak pertama datang ke sini, saya sudah penasaran dengan pulau tersebut. Pulau kecil ini dikelilingi oleh hutan bakau yang rimbun dan ada dua perahu nelayan yang berlabuh.
Ternyata semakin kami mendekati pulau kecil ini, kami melihat beberapa buah rumah di dalam pulau kecil ini. Terlihat seorang warga yang sedang duduk dekat sebuah rumah.
Menurut seorang warga Pantai Pasir Perawan yang saya tanyai, pulau kecil itu bernama Pulau Biawak. Itu adalah pulau baru, dan rumah-rumah itu milik sang pemilik pulau tersebut. Wah, sultan nih!
Tak hanya itu yang kami temui, di pulau kecil ini, kami bisa melihat ikan-ikan seukuran tiga jari bermain di celah-celah akar hutan bakau. Baru kali ini, saya melihat ikan yang lumayan besar selama 2 hari di Pulau Pari. Istri saya berkomentar, seharusnya tadi saya bawa pancing. Ha-ha.