Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Narablog

Senang traveling dan senang menulis topik seputar Sustainable Development Goals (SDGs).

Selanjutnya

Tutup

Diary

Melampaui Batas Teks: Pengalaman Meneliti Benteng di Maluku dan Maluku Utara

26 Desember 2023   00:47 Diperbarui: 26 Desember 2023   02:08 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benteng-benteng di Maluku dan Maluku Utara dari era kolonial. (sumber gambar: dokpri/Ani Mulyani)

Pada 1 Desember 2023, admin Kompasiana mengangkat sebuah topik kolaborasi dengan judul "Seberapa Berharga Bangunan/Ruang dari Era Kolonial Bagimu?" Ide ini, sebetulnya, muncul dari seorang kandidat Ph.D., Universitas Erasmus Rotterdam Belanda, bernama Remco Vermeulen.

Bekerja sama dengan Kompasiana, Remco Vermeulen kemudian menantang para Kompasianer untuk berbagi cerita, opini, dan gagasan terkait situasi serta penggunaan bangunan/ruang dari zaman kolonial Belanda di Indonesia.

Hasil tulisan dari para Kompasianer akan sangat bermanfaat bagi Remco yang sedang meneliti pandangan orang Indonesia (khususnya umur 18-35 tahun) mengenai penggunaan bangunan/ruang dari zaman pendudukan Belanda.

Menurut admin Kompasiana, sebanyak 5 orang dengan artikel paling menarik akan direspons langsung oleh Remco dan meneriman merchandise cantik dari Negeri Kincir.

Setelah informasi ini ditayang oleh admin Kompasiana, para Kompasianer berlomba-lomba untuk menceritakan tempat-tempat bersejarah dari era kolonial.

Tujuan Saya Ikutan Topik Pilihan Ini

Setiap Kompasianer yang ikutan menulis topik bangunan/ruang peninggalan dari era kolonial, tentu memiliki tujuan tertentu. Ada yang ingin mendapat merchandise cantik dari Remco, ada pula yang ingin tulisannya mendapat label Headline di Kompasiana, dan lain sebagainya.

Jujur, tujuan saya ikutan menulis topik ini adalah ingin mendalami sejarah sekaligus memperkenalkan daerah asal saya, yaitu Maluku dan Maluku Utara sebagai daerah yang memiliki potensi wisata sejarah yang layak dikunjungi wisatawan. Kalau ternyata tujuan saya ini tak sesuai keinginan Remco, mohon dimaafkan.

Saya sebetulnya tak terlalu mengharapkan merchandise cantik dari Belanda, apalagi tanggapan dari Remco mengingat tulisan saya masih jauh dari kata "baik". Kalau ternyata saya terpilih, itu mujizat.

Kalau ternyata masuk Headline, itu hanya sebuah kebetulan saja. Bila mendapat label Pilihan, itu sudah cukup buat saya. Dan, bila mendapatkan banyak vote dan komentar dari teman-teman Kompasianer, itu sebuah anugerah bagi saya.

Tantangan-tantangan yang Saya Hadapi

Sejauh ini, saya telah meneliti 12 benteng peninggalan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, dan Belanda) di Maluku dan Maluku Utara. Dari 12 benteng tersebut, 6 benteng berada di wilayah Maluku, 6 benteng lagi berada di wilayah Maluku Utara.

6 benteng yang berada di Maluku, antara lain sebagai berikut:

  • Benteng Duurstede di Pulau Saparua - dibangun oleh Portugis dan dipugar oleh Belanda.
  • Benteng Beverwijk di Pulau Nusalaut - dibangun oleh Belanda.
  • Benteng Nieuw Zeelandia di Pulau Haruku - dibangun oleh Portugis dan dipugar oleh Belanda.
  • Benteng Belgica di Pulau Banda - dibangun oleh Belanda
  • Benteng Nieuw Victoria di Pulau Ambon - dibangun oleh Portugis dan dipugar oleh Belanda
  • Benteng Amsterdam di Pulau Ambon - dibangun oleh Portugis dan dipugar oleh Belanda

6 benteng yang berada di Maluku Utara, antara lain sebagai berikut:

  • Benteng Oranje di Pulau Ternate - dibangun oleh Portugis
  • Benteng Kalamata di Pulau Ternate - dibangun oleh Portugis
  • Benteng Kastela di Pulau Ternate - dibangun oleh Portugis
  • Benteng Tolukko di Pulau Ternate - dibangun oleh Portugis
  • Benteng Torre di Pulau Tidore - dibangun oleh Portugis
  • Benteng Tahula di Pulau Tidore - dibangun oleh Spanyol

Meneliti ke-12 benteng di atas, harus saya akui, bukan perkara yang mudah, meskipun dari segi jumlah kata tiap artikel cukup sedikit, yaitu sekitar 500 kata hingga 900 kata.

Hal yang membuat saya kesulitan dalam meneliti ke-12 benteng tersebut adalah keterbatasan sumber literatur. Dalam meneliti ke-12 benteng tersebut, saya hanya mengandalkan beberapa sumber dari internet, yaitu Kemdikbud.go.id., Kompas.com., Merdeka.com., dan ambon.antaranews.com.

Berbekal sumber-sumber tersebut, dan pengalaman dari saya dan teman-teman Kompasianer saat mengunjungi benteng-benteng di Maluku dan Maluku Utara, saya kemudian meramunya menjadi sebuah tulisan yang menarik dan informatif.

Kejutan-kejutan yang Saya Alami

Meskipun terdapat kendala dalam menyajikan tulisan terkait benteng-benteng peninggalan kolonial di Maluku dan Maluku Utara, saya pribadi sangat menikmati prosesnya.

Dari proses menulis yang tak mudah ini, saya justru mendapat banyak kejutan. Salah satu kejutan yang bikin saya terkaget-kaget adalah ketika meneliti benteng di Ternate dan Tidore.

Ketika saya meneliti Benteng Kalamata di Ternate, misalnya, saya baru tahu kalau nama Benteng Kalamata diambil dari nama Pangeran Kesultanan Ternate, yaitu Kaicil  Kalamata. Beliau pernah memimpin pemberontaan rakyat Maluku mulai tahun 1650 hingga tahun 1655. Beliau juga pernah bergabung dengan Kerajaan Gowa dan menjadi orang kepercayaan Sultan Hasanuddin.

Nah, yang bikin saya terkaget-kaget adalah sebutan "Kaicil" yang disematkan di depan nama Kalamata. Berdasarkan sumber yang saya baca, "Kaicil" atau "Kaicili" merupakan sebutan untuk putra atau pangeran pada kesultanan-kesultanan di Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sedikit informasi, saya lahir di Jailolo.

Apabila "Kaicili" adalah sebutan untuk pangeran kesultanan, maka saya termasuk keturunan kesultanan, sebab marga saya adalah "Kaitjily", meskipun ada sedikit perbedaan ejaan huruf.

Karena masih belum yakin, saya kemudian mendiskusikan temuan saya ini dengan ibu saya. Melalui telepon via WA yang berlangsung kurang lebih 1 jam, beliau menceritakan kalau dulu pernah ada teman ayah saya dari Tidore yang mengklarifikasi asal-muasal marga "Kaitjily".

Menurut teman ayah saya itu, marga "Kaitjily" yang disematkan pada ayah saya, bukan berasal dari Pulau Saparua, Maluku Tengah, tetapi dari Pulau Tidore, Maluku Utara.

Meskipun demikian, saya masih tetap penasaran, kenapa terjadi perbedaan ejaan pada marga saya, bukan "Kaicili", tetapi "Kaitjily". Di luar dari itu, temuan saya dari hasil menulis benteng di Ternate dan Tidore tetap mengejutkan saya dan ibu saya.

Kesimpulan: Sebuah Ajakan

Meneliti tentang benteng atau benda-benda kuno peninggalan kolonial itu penuh dengan tantangan. Meskipun demikian, ada kejutan demi kejutan yang bakal kita temui saat kita menelitinya.

Nah, tunggu apalagi, sekarang waktunya untuk kalian megeksplorasi tempat-tempat bersejarah di daerah kalian, khususnya tempat-tempat yang diketahui sebagai situs sejarah kolonial. Bagikan cerita atau opini kalian di Kompasiana, sehingga banyak orang yang bisa mengaksesnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun