Fenomena anak muda di desa yang merantau ke kota hampir terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Umumya, mereka merantau untuk melanjutkan sekolah atau untuk mencari pekerjaan.
Sebagai seorang pemuda yang lahir dan dibesarkan di desa, tentu saja saya ingin sekali memajukan desa saya. Terlebih saat melihat kondisi desa saya yang seperti itu-itu saja.
Raja (Kepala Desa) dan Camat boleh saja berganti, tetapi kondisi desa minim perubahan, bahkan mungkin tak ada perubahan sama sekali. Pernah ada Camat yang divonis kasus korupsi dana PNPM mandiri perdesaan. Duh.. miris!
Lalu, ada sebuah pola berulang, yang saya perhatikan di kalangan pemuda desa, yaitu pergi merantau tanpa memberikan kontribusi apa-apa pada desa.
Bahkan, tidak banyak anak muda yang setelah merantau lupa kampung halaman. Contohnya, saya. Mereka pulang hanya untuk merayakan Natal dengan keluarga di kampung, setelah itu akan kembali ke perantauan.
Setelah saya telisik penyebabnya, saya menemukan dua hal paling menonjol yang menyebabkan mereka malas untuk kembali ke kampung halaman. Dua hal tersebut antara lain sebagai berikut.
Tidak Tersedianya Lapangan Pekerjaan
Penyebab pertama, adalah tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Anak-anak muda dari keluarga Ibu saya, misalnya, merantau ke kota besar seperti Kota Ambon, Sorong, dan Jayapura.
Mereka terpaksa meninggalkan sanak keluarga (istri dan anak-anak) demi mengadu nasib di negeri orang. Bahkan, adik kandung saya pernah bekerja di perusahaan kelapa sawit di kota Sorong.
Padahal, desa saya bukannya tidak memiliki potensi terciptanya lapangan pekerjaan. Justru, berpotensi besar dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi anak-anak muda, kalau pejabat desa mau serius membangun desa.
Setahu saya, pemerintah telah menyediakan dana desa bagi daerah-daerah tertinggal. Dikutip dari laman kompas.id,
Direktur Fasilitasi Pemanfaatan Dana Desa Direktorat Jenderal (Direktorat Jenderal) Pembangunan Desa dan Perdesaan pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Luthfy Latief, menuturkan, sejak 2015 hingga 2022, pemerintah telah menggelontarkan dana desa sebesar Rp 468 triliun. Jumlahnya meningkat dari Rp 20,67 triliun pada 2015 menjadi Rp 72 triliun pada 2021. Namun, karena pengaruh Covid-19 turun menjadi 68 triliun. Jumlah tersebut untuk 74.961 desa di Indonesia.
Lalu, dalam Pasal 5 Peraturan Presiden  Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN Tahun 2022, disebutkan di situ kalau, dana desa penggunaannya antara lain untuk program ketahanan pangan dan hewani, paling sedikit 20%.
Adapun, program perlindungan sosial berupa bantuan tunai desa paling sedikit 40% dan dukungan pendanaan penanganan Covid-19 paling sedikit 8%.
Dana desa dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha pertanian, perkebunan, perhutanan, dan perikanan, serta pembangunan lumbung pangan desa.
Dengan dana desa sebesar 20% ini, maka pejabat desa bisa membuka lapangan pekerjaan baru bagi anak-anak muda dalam sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.
1. Usaha Pertanian/Perkebunan
Desa saya memiliki luas lahan pertanian/perkebunan yang cukup besar. Sebagian sudah terisi dengan tanaman pala, cengkih, kenari, dan kelapa. Keempat tanaman rempah-rempah ini sudah terkenal sejak zaman dulu.
Tetapi, sebagian lahan lagi masih kosong. Sewaktu saya masih di desa, saya dan keluarga memanfaatkan lahan kosong untuk menanam kacang tanah, cabai, bawang merah, dan ketimun.
Nah, daripada lahan kosong dibiarkan nganggur, saya kira pejabat desa perlu bekerja sama dengan Dinas Pertanian untuk menyediakan bibit tanaman unggulan untuk ditanam di lahan-lahan kosong.
Usaha ini bisa melibatkan para petani muda/milenial di desa yang sedang menganggur. Hasil pertanian/perkebunan selanjutnya dikelola oleh desa dan atau Dinas Pertanian.
2. Usaha Peternakan
Desa saya memiliki potensi peternakan yang cukup besar. Belum lama ini, ibu saya membeli 2 ekor sapi seharga sekitar 7 juta-an.
Beliau sengaja beli sapi untuk dipelihara dan kemudian dijual. Sekarang, sapi itu sudah beranak. Jadi, total 3 ekor sapi yang ada padanya. Semuanya gemuk-gemuk, karena memang ketersediaan rumput melimpah.
Di samping itu, Ibu saya juga memelihara ayam. Tidak banyak memang, tapi cukup untuk dimakan sekeluarga kalau lagi krisis ikan, karena ganasnya gelombang laut.
Saya kira, pejabat desa perlu bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan Peternakan untuk memfasilitasi bibit sapi atau ayam petelur unggulan. Kemudian, mengajak anak muda untuk beternak sapi dan ayam petelur.
Nah, hasil peternakan selanjutnya dikelola oleh desa dan atau Dinas Pertanian dan Perternakan. Biasanya, daging sapi akan dijual ke Provinsi Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Selatan.
3. Usaha Perikanan
Desa saya juga memiliki potensi ekonomi biru yang sangat menjanjikan. Usaha perikanan bisa dilakukan oleh pejabat desa dibantu oleh Dinas Perikanan dengan beberapa cara.
Pertama, dengan cara budidaya ikan. Lokasi budidaya ikan ini cukup luas, bisa di darat ataupun di laut. Jenis ikan yang bisa dibudidayakan adalah ikan kerapu.
Kedua, dengan cara membuat bagan apung. Kebetulan, dulu saya pernah melaut menggunakan kapal bagan apung, jadi saya cukup tahu prospek hasil tangkapannya. Hasil tangkapannya boleh dibilang lumayan menguntungkan.
Nah, pejabat desa perlu bekerja sama dengan Dinas Perikanan untuk memfasilitasi alat penangkapan ikan berupa bagan apung ini. Tidak perlu banyak-banyak, dua bagan apung saya kira sudah cukup.
Hasil budidaya dan penangkapan ikan selanjutnya dikelola oleh pejabat desa dan Dinas Perikanan. Ikan-ikan itu bisa dijual ke luar pulau, misalnya ke Jawa.
Terbatasnya Infrastruktur dan Fasilitas Desa
Penyebab kedua, adalah terbatasnya infrastruktur dan fasilitas desa. Infrastruktur dan fasilitas di desa saya boleh dibilang terbatas, meskipun statusnya sudah Kecamatan.
Misalnya, sistem penyedia air minum yang belum memadai. Untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk mandi dan mencuci pakaian, mereka mengambil air dari tempat penampungan air atau dari sungai-sungai kecil. Sedangkan, untuk air minum diambil dari sumur atau beli langsung dari depo air minum.
Ibu saya paling langganan mencuci pakaian di sungai kecil dekat rumahnya. Beberapa waktu lalu, beliau bercerita kalau seluruh badannya gatal-gatal, kemungkinan disebabkan oleh kualitas air sungai yang tidak lagi bersih.
Berikut fasilitas internat yang belum juga memadai. Masyarakat desa saya hanya mengandalkan jaringan Telkomsel. Itupun sering mengalami gangguan.
Dalam beberapa kesempatan, saya sulit menghubungi keluarga saya di kampung, karena gangguan jaringan internet. Beruntung, menelpon pakai pulsa biasa masih masuk. Karena itu, pemerintah desa perlu menambah lagi tower jaringan internet.
Fasilitas lain yang perlu dibenahi adalah fasilitas wisata pantai. Kalau saja wisata pantai di desa saya memiliki fasilitas yang memadai dan dikelola dengan baik oleh desa, saya kira akan tercipta lapangan pekerjaan baru bagi anak-anak muda.
Menyikapi persoalan ini, maka pejabat desa perlu memperbaiki dan meningkatkan infrastruktur dan fasilitas desa demi kemajuan desa. Tentu saja, ini perlu keterlibatan berbagai pihak.
Kesimpulan
Memajukan perekonomian desa, bagaimana pun, tetap menjadi impian banyak anak muda yang saat ini berada di perantauan. Hidup makmur di tanah orang, tidak sama dengan hidup makmur di tanah sendiri.
Kalau boleh saya pilih, saya akan memilih hidup makmur di tanah sendiri. Tetapi, pilihan ini bergantung pada pemerintah desa.
Apabila pemerintah desa mau serius membangun desa, saya kira anak muda di perantauan akan ramai-ramai pulang membangun desa. Kalau ini terjadi, maka harapan pemerintah untuk memajukan perekonomian desa benar-benar terwujud.
Sekian dan semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H