Di rumah, orang tua kami sengaja merancang beberapa lampu minyak yang ditaruh di beberapa sudut ruangan, seperti ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Sedangkan untuk teras dibiarkan gelap saja.
Saya ingat pernah belajar menggunakan lampu minyak, keesokan paginya lubang hidup saya hitam pekat karena efek dari lampu minyak. Ha-ha.
Biasanya, orang tua kami akan menyalakan lampu minyak pada pukul 19.00 dan baru dimatikan pada pukul 05.00. Di antara waktu itu orang tua kami akan bangun untuk mengisi minyak pada lampu agar tidak lekas padam.
Kemudian, secara berkala lampu minyak harus dibersihkan dan memastikan sumbunya tetap muncul. Terkesan ribet sih, tapi itulah cara mereka bertahan hidup di tengah-tengah akses listrik yang sulit dijangkau.
3. Obor Bambu untuk Penerangan Jalan
Opa saya adalah seorang penjaga salah satu sekolah negeri di Saparua, letaknya di pesisir pantai Waisisil. Setiap malam dia akan pergi ke sekolah menggunakan obor. Kadang-kadang, dia mengajak saya atau adik saya ikut bersamanya.
Obor terbuat dari bahan bambu dan di ujung bambu diberi sumbu yang terbuat dari serabut kelapa. Sebelum dinyalakan, obor bambu diisikan minyak tanah terlebih dahulu.
Nyala obor tentu lebih terang daripada nyala lampu minyak. Jadi, aman untuk melakukan perjalanan pada malam hari. Sesekali, kami pakai senter.
Sampai sekarang, masyarakat di Pulau Saparua masih menggunakan obor bambu untuk beberapa kegiatan seperti cakalele, menangkap ikan dan menimba laor.
Baca juga: Timba Laor: Tradisi Unik Masyarakat Pesisir di Maluku.
Lantas, apa yang orang tua kita zaman old ajarkan kepada kita yang hidup di zaman now terkait energi fosil? Mereka mengajarkan pemanfaatan energi fosil secara bijak. Bagaimana caranya?
Tentu kita tidak akan meniru model penerangan orang tua kita zaman dahulu, tetapi yang kita tiru adalah perilaku mereka dalam menggunakan energi fosil.