Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Freelancer - Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Berbagi opini seputar Sustainable Development Goals (SDGs) terutama yang terpantau di Jakarta. Melalui opini yang dituangkan, saya mengajak pembaca untuk lebih memahami dan menyadari konsep keberlanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Minggu di Tengah Arus Perubahan Zaman: Tantangan dan Peluang

4 Oktober 2023   08:49 Diperbarui: 4 Oktober 2023   08:52 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pinterest

Tulisan ini, sebetulnya, terinspirasi dari artikel yang ditulis oleh teman Facebook saya bernama Made Nopen Supriadi (alm.). Artikel yang berjudul "Integrasi Teologi dan Media Sosial dalam Pengajaran Iman Kristen bagi Generasi Z" ditulisnya dalam sebuah buku bunga rampai Menyemai Pelayanan Gereja dalam Konteks Post Milenial (Luwuk: Pustaka Star's Lub, 2021), 128. Saya kemudian mengaitkan artikelnya itu dengan isu Sekolah Minggu pada masa kini.

Sadar atau tidak, gereja kita hari ini, sedang berada di tengah-tengah arus perubahan zaman yang luar biasa dahsyat. Douglas Groothuis, dalam bukunya yang berjudul Pudarnya Kebenaran menyatakan, para sejarawan dan sosiolog membagi budaya dalam tiga zaman, yaitu pramodern, modern, dan postmodern. Selanjutnya, Ramly B. Lumintang, memberikan penjelasan yang cukup lengkap mengenai inti dari setiap zaman. Pertama, era pramodern ditunjukkan dengan sedikitnya perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial, keragaman religius (baca: agama) tidak banyak terjadi; era ini terjadi pada abad ke-1 sampai abad ke-14. Kedua, era modern yang menunjukkan perkembangan peradaban manusia yang mendasarkan kehidupan pada pengetahuan rasio, bukti-bukti empiris, penemuan ilmiah dan teknologi; era ini terjadi pada abad ke-15 sampai abad ke-19. Ketiga, era postmodern yang menunjukkan perkembangan kehidupan manusia dengan spirit relativisme dan lokal dan ini terjadi pada abad ke-20 sampai abad ke-21.

Meskipun ada perubahan zaman, namun menurut H. W. B. Sumakul, era postmodern ini dapat menunjukkan adanya diskontinuitas; ada hal-hal yang terus berlanjut dari apa yang ada pada era modern, tetapi ada juga yang tidak berlanjut. Meskipun ada hal yang tidak berlanjut, yaitu sikap universalitas dan obyektif terhadap sebuah kebenaran menjadi bersifat lokal dan subyektif pada era postmodern, namun banyak hal tetap eksis dan dilanjutkan dari era modern, secara khusus dalam prinsip penggalian dan penggunaan teknologi.

Harus kita akui bahwasannya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta pemakainya telah menjadi sebuah standar untuk menentukan ragam generasi pada masa kini. Yanuar Surya Putra, dalam penelitiannya tentang teori perbedaan generasi menjelaskan bahwa ada dua hal utama yang mendasari pengelompokkan generasi: faktor demografi dan sosiologis. Faktor demografi tentang kesamaan tahun kelahiran, sedangkan faktor sosiologis tentang kejadian-kejadian historis. Dalam artikel ilmiahnya, Achmad Faqilhuddin manyatakan bahwa ada empat generasi yang lahir setelah perang dunia kedua. Pertama, generasi baby boom yang lahir tahun 1946-1964, generasi X yang lahir tahun 1965-1976, generasi Y yang lahir tahun 1977-1997, dan generasi Z yang lahir tahun 1988 sampai sekarang. Faqihuddin kembali menjelaskan bahwa generasi Z adalah generasi mobile atau net generation, karena bertumbuh bersama dengan kemajuan teknologi, generasi Z adalah pengguna aktif IT, media sosial, dan smartphone. Hal ini jelas merupakan tantangan tersendiri bagi gereja dalam mendidik generasi Z.

Pipit Fitriyani, dalam tulisannya tentang pendidikan karakter bagi generasi Z menjelaskan bahwa bentuk pembelajaran kepada generasi Z perlu mengembangkan model pembelajaran Higher Ordes Thingking Skill (HOTS). Ini adalah model pembelajaran dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi; peserta didik diajarkan untuk berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, berpikir kreatif dan analisis, serta mengurangi penghafalan dan rumus-rumus. Data tersebut, menunjukkan adanya problematika dalam memberikan pendidikan kepada generasi Z. Meskipun generasi ini adalah generasi yang mandiri dalam mengembangkan pengetahuan, namun pola pengajaran teologi terhadap generasi Z menuntut para guru Sekolah Minggu untuk meningkatkan metode dalam penyampaian bahan ajar dan mampu memberikan sebuah terobosan yang kreatif dan menarik bagi generasi Z.

Pentingnya Teologi Kristen

Sebelum saya memberikan sebuah pemikiran tentang bentuk penyampaian pengajaran yang sesuai dengan generasi Sekolah Minggu masa kini, saya akan menjelaskan terlebih dahulu pentingnya teologi Kristen bagi generasi Sekolah Minggu pada masa kini.

Teologi Kristen adalah sebuah kebutuhan yang sangat penting, yang perlu diisikan dalam kehidupan generasi Sekolah Minggu masa kini. Stevri I. Lumintang, dalam bukunya yang berjudul Keunikan Teologia Kristen di Tengah Kepalsuan, menjelaskan alasan mengapa teologi Kristen itu siginifikan menjadi isi dalam kehidupan manusia. Pertama, teologi adalah dasar, pemahaman, pengalaman, dan perbuatan orang percaya. Kedua, teologi adalah nilai hidup, pemikiran, kerja dan pelayanan orang percaya. Ketiga, teologi Kristen adalah kekuatan bagi pertumbuhan, pelayanan dan pertahanan orang percaya. Keempat, teologi memperdalam pemahaman orang percaya. Kelima, teologi memperkaya karakter orang percaya. Keenam, teologi memaknai pengalaman baik dan buruk orang percaya. Ketujuh, teologi membentengi pemahaman, keyakinan, karakter, dan pengalaman orang percaya. Kedelapan, teologi memurnikan motif hidup dan pelayanan. Kesembilan, teologi mendinamiskan hidup dan pelayanan orang percaya. Kesepuluh, teologi Kristen memaksimalkan hidup dan pelayanan orang percaya.

Meskipun teologi Kristen sangat penting, namun perlu kami tegaskan di sini bahwa tidak semua teologi dapat dijadikan isi (baca: bahan ajar) bagi kehidupan anak-anak Sekolah Minggu masa kini. Ada banyak sekali teologi di luar sana yang menyimpang dari iman atau ajaran Kristen sejati. Karena itu, guru Sekolah Minggu perlu berhati-hati. Guru perlu meninjau teologi seperti apa yang hendak ia ajarkan kepada anak-anak Sekolah Minggu. Bagaimana mendeteksi teologi yang menyimpang? Apa ciri-cirinya? Ciri-ciri teologi yang menyimpang antara lain: menolak Trinitas (Allah Tritunggal), menolak Alkitab (66 Kitab) sebagai firman Allah tanpa salah, mensejajarkan wahyu khusus dan wahyu umum atau menempatkan wahyu khusus di atas wahyu umum.

Pengajaran doktrin Kristen yang sehat adalah sebuah kebutuhan mendesak pada masa kini. Anak-anak kita yang cenderung menghabiskan waktu selama berjam-jam untuk berselancar di internet (menonton dan membaca banyak informasi dari internet), perlu mendapat perlindungan (proteksi) dalam konsep berpikir. Lori, dalam tulisannya yang dimuat di jawaban.com menuliskan tiga website yang banyak menjebak orang Kristen kepada konsep iman atau ajaran Kristen yang salah: jw.org milik saksi-saksi Yehuwa, churchofjesuschrist.org & LDS milik kelompok Mormon, dan patheos.com media online non-denominasi, tetapi mengajarkan konsep agnostik.

Selain itu, kami mengamati banyak sekali situs YouTube yang paling diminati oleh orang Kristen, termasuk generasi Z, adalah situs-situs yang sebenarnya menyimpang dari iman atau ajaran Kristen sejati, salah satunya adalah YouTube dengan nama Gereja Tuhan Yang Mahakuasa, dan tentu masih banyak lagi situs-situs yang perlu diwaspadai ajarannya. Kami melihat maraknya perdebatan teologi di media sosial (medsos), pada satu sisi memberikan peneguhan iman bagi mereka yang telah mengerti teologi. Namun, pada sisi lain, perdebatan itu justru menimbulkan kebingungan bagi generasi Z yang belum mempunyai dasar teologi yang kuat.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memberikan pemahaman teologi tentang dasar-dasar iman Kristen yang sehat adalah kebutuhan utama dan mendesak bagi generasi Z masa kini, sebelum mereka mendapatkan informasi tentang teologi dari media sosial. Pengajaran teologi yang sehat dapat memberikan hikmat kepada generasi Z, supaya mereka dapat melakukan filterisasi terhadap banyaknya konsep pengajaran yang beredar di media sosial. Memberikan pemahaman teologi kepada anak-anak adalah keharusan (keniscayaan) yang perlu dilakukan tidak hanya oleh gereja melalui Sekolah Minggu, tetapi juga oleh keluarga, yaitu kedua orangtua dari anak-anak.

Bentuk Penyampaian Pengajaran

Generasi Z disebut juga sebagai generasi net generation. Artinya, generasi yang terlahir dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang canggih sekali. Rastati, dalam penelitiannya menjelaskan bahwa, generasi Z tidak terlepas dari smartphone dan menyukai model pembelajaran yang inovatif dengan melibatkan interaksi dalam komunitas, analisis dan kritis. Kemudian, Lasti Yossi Hastini, Rahmi Fahmi, dan Hendra Lukito dalam penelitian mereka tentang peningkatan literasi melalui pembelajaran menggunakan teknologi bagi generasi Z menyimpulkan bahwa sekalipun generasi Z membutuhkan media online, namun generasi Z memiliki kekurangan dalam melakukan validasi data dan membutuhkan bimbingan langsung dari seorang dosen dalam memverifikasi data. Kesimpulan tersebut, menunjukkan kalau generasi Z, sekalipun memiliki kelebihan dalam melakukan akses informasi dengan cepat dan luas, namun generasi Z memiliki persoalan dalam memvalidasi dan memverifikasi data yang diakses. Oleh karena itu, memberikan prapengetahuan kepada generasi Z adalah hal yang sangat penting.

Demikian pula dengan komunitas Sekolah Minggu, gembala, majelis, dan aktivis gereja tidak boleh mengabaikan penyampaian tentang doktrin dasar iman Kristen yang sehat kepada generasi Z di gerejanya. Ini dilakukan guna menolong generasi Z gereja mampu memvalidasi dan memverifikasi ajaran-ajaran yang mereka akses di media sosial.

Made Nopen Supriadi (alm.) mengatakan bahwa secara prinsip, penyampaian pengajaran terhadap generasi Z tidaklah berubah, namun bentuk penyampaian pengajaran terhadap generasi Z mengalami perubahan. Menurut Budwining Anggraeni Tiyastuti, generasi Z menyukai metode belajar dengan bereksperimen atau melakukan praktik daripada duduk diam di dalam kelas. Tiyastuti mengatakan bahwa pembelajaran bagi generasi Z dan Alfa akan lebih efektif apabila difokuskan pada kontekstualisasi teori. Berangkat dari penjelasan tersebut, teologi yang akan diajarkan perlu mengalami kontekstualisasi teori sesuai dengan tangkapan konteks generasi Z.

Menurut Tiyastuti, generasi Z membutuhkan pengajaran tentang techinal skill, conceptual skiil, dan interpersonal skill. Jika kita mengaitkannya dengan penyampaian pengajaran teologi Kristen, maka seorang pengajar teologi perlu menyampaikan pengajaran dengan tingkat skil, konsep, dan komunikasi yang sesuai dengan konsep generasi Z. Demi terwujudnya suasana pembelajaran yang berkualitas, maka pendidik generasi Z perlu sungguh-sungguh belajar menggunakan teknologi dan media sosial. Sangat disayangkan, bila ada guru Sekolah Minggu masa kini, yang tidak menguasai teknologi dan tidak memiliki satu pun media sosial, seperti Facebook, Instagram, atau TikTok. Kami, selaku guru Sekolah Minggu memiliki semua media sosial ini.

Generasi Z yang lebih menyukai pembelajaran secara mandiri menghabiskan banyak waktu dengan menonton sebuah video. Salah satu media video yang banyak digunakan pada masa kini adalah YouTube dan TikTok. Karena itu, pengajar generasi Z, perlu mengemas pengajarannya dengan menarik dan menyajikannya di kanal YouTube atau memposting video pengajarannya di media sosial milik gereja. Dengan demikian, bentuk penyampaian doktrin Kristen tidak melulu hanya terjadi di ruang kelas, namun juga di ruang virtual. Superbook Indonesia telah melakukan hal ini dengan sangat baik. Superbook adalah salah satu alat gereja yang Tuhan pakai untuk menjangkau generasi Z dan Alfa. Kami tahu bahwa, ada gereja-gereja yang menggunakan modul-modul dari Superbook. Hal ini tentu tidak masalah, namun gereja perlu mandiri, sehingga tidak terlalu bergantung pada modul-modul yang ditawarkan oleh Superbook.

Pelayanan Sekolah Minggu pada masa kini memang memiliki tantangan. Kita memiliki anak-anak yang mandiri dalam mengembangkan pengetahuan melalui media online. Karena itu, pola pengajaran teologi terhadap generasi Z menuntut para guru Sekolah Minggu untuk meningkatkan metode dalam penyampaian bahan ajar, sehingga mampu memberikan sebuah terobosan yang kreatif dan menarik bagi generasi Z.

Saya kira itu dulu yang bisa saya sampaikan pada tulisan kali ini. Terima kasih ya untuk sudah mampir membaca tulisan sederhana ini. Semoga artikelnya bermanfaat khusunya bagi para guru Sekolah Minggu masa kini. Kita akan jumpa lagi besok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun