Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memberikan pemahaman teologi tentang dasar-dasar iman Kristen yang sehat adalah kebutuhan utama dan mendesak bagi generasi Z masa kini, sebelum mereka mendapatkan informasi tentang teologi dari media sosial. Pengajaran teologi yang sehat dapat memberikan hikmat kepada generasi Z, supaya mereka dapat melakukan filterisasi terhadap banyaknya konsep pengajaran yang beredar di media sosial. Memberikan pemahaman teologi kepada anak-anak adalah keharusan (keniscayaan) yang perlu dilakukan tidak hanya oleh gereja melalui Sekolah Minggu, tetapi juga oleh keluarga, yaitu kedua orangtua dari anak-anak.
Bentuk Penyampaian Pengajaran
Generasi Z disebut juga sebagai generasi net generation. Artinya, generasi yang terlahir dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang canggih sekali. Rastati, dalam penelitiannya menjelaskan bahwa, generasi Z tidak terlepas dari smartphone dan menyukai model pembelajaran yang inovatif dengan melibatkan interaksi dalam komunitas, analisis dan kritis. Kemudian, Lasti Yossi Hastini, Rahmi Fahmi, dan Hendra Lukito dalam penelitian mereka tentang peningkatan literasi melalui pembelajaran menggunakan teknologi bagi generasi Z menyimpulkan bahwa sekalipun generasi Z membutuhkan media online, namun generasi Z memiliki kekurangan dalam melakukan validasi data dan membutuhkan bimbingan langsung dari seorang dosen dalam memverifikasi data. Kesimpulan tersebut, menunjukkan kalau generasi Z, sekalipun memiliki kelebihan dalam melakukan akses informasi dengan cepat dan luas, namun generasi Z memiliki persoalan dalam memvalidasi dan memverifikasi data yang diakses. Oleh karena itu, memberikan prapengetahuan kepada generasi Z adalah hal yang sangat penting.
Demikian pula dengan komunitas Sekolah Minggu, gembala, majelis, dan aktivis gereja tidak boleh mengabaikan penyampaian tentang doktrin dasar iman Kristen yang sehat kepada generasi Z di gerejanya. Ini dilakukan guna menolong generasi Z gereja mampu memvalidasi dan memverifikasi ajaran-ajaran yang mereka akses di media sosial.
Made Nopen Supriadi (alm.) mengatakan bahwa secara prinsip, penyampaian pengajaran terhadap generasi Z tidaklah berubah, namun bentuk penyampaian pengajaran terhadap generasi Z mengalami perubahan. Menurut Budwining Anggraeni Tiyastuti, generasi Z menyukai metode belajar dengan bereksperimen atau melakukan praktik daripada duduk diam di dalam kelas. Tiyastuti mengatakan bahwa pembelajaran bagi generasi Z dan Alfa akan lebih efektif apabila difokuskan pada kontekstualisasi teori. Berangkat dari penjelasan tersebut, teologi yang akan diajarkan perlu mengalami kontekstualisasi teori sesuai dengan tangkapan konteks generasi Z.
Menurut Tiyastuti, generasi Z membutuhkan pengajaran tentang techinal skill, conceptual skiil, dan interpersonal skill. Jika kita mengaitkannya dengan penyampaian pengajaran teologi Kristen, maka seorang pengajar teologi perlu menyampaikan pengajaran dengan tingkat skil, konsep, dan komunikasi yang sesuai dengan konsep generasi Z. Demi terwujudnya suasana pembelajaran yang berkualitas, maka pendidik generasi Z perlu sungguh-sungguh belajar menggunakan teknologi dan media sosial. Sangat disayangkan, bila ada guru Sekolah Minggu masa kini, yang tidak menguasai teknologi dan tidak memiliki satu pun media sosial, seperti Facebook, Instagram, atau TikTok. Kami, selaku guru Sekolah Minggu memiliki semua media sosial ini.
Generasi Z yang lebih menyukai pembelajaran secara mandiri menghabiskan banyak waktu dengan menonton sebuah video. Salah satu media video yang banyak digunakan pada masa kini adalah YouTube dan TikTok. Karena itu, pengajar generasi Z, perlu mengemas pengajarannya dengan menarik dan menyajikannya di kanal YouTube atau memposting video pengajarannya di media sosial milik gereja. Dengan demikian, bentuk penyampaian doktrin Kristen tidak melulu hanya terjadi di ruang kelas, namun juga di ruang virtual. Superbook Indonesia telah melakukan hal ini dengan sangat baik. Superbook adalah salah satu alat gereja yang Tuhan pakai untuk menjangkau generasi Z dan Alfa. Kami tahu bahwa, ada gereja-gereja yang menggunakan modul-modul dari Superbook. Hal ini tentu tidak masalah, namun gereja perlu mandiri, sehingga tidak terlalu bergantung pada modul-modul yang ditawarkan oleh Superbook.
Pelayanan Sekolah Minggu pada masa kini memang memiliki tantangan. Kita memiliki anak-anak yang mandiri dalam mengembangkan pengetahuan melalui media online. Karena itu, pola pengajaran teologi terhadap generasi Z menuntut para guru Sekolah Minggu untuk meningkatkan metode dalam penyampaian bahan ajar, sehingga mampu memberikan sebuah terobosan yang kreatif dan menarik bagi generasi Z.
Saya kira itu dulu yang bisa saya sampaikan pada tulisan kali ini. Terima kasih ya untuk sudah mampir membaca tulisan sederhana ini. Semoga artikelnya bermanfaat khusunya bagi para guru Sekolah Minggu masa kini. Kita akan jumpa lagi besok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H