Dalam lima tahun terakhir ini, saya tertarik mempelajari bidang kajian kepemimpinan Kristen. Karena ketertarikan itu, saya kemudian mengambil S-2 dalam bidang kajian Kepemimpinan Kristen. Saya melihat bahwa, ilmu kepemimpinan ini, sangat perlu dipelajari oleh setiap gembala sidang. Ilmu ini akan sangat berguna bagi seorang gembala dalam memimpin gereja dengan efektif pada abad 21. Oleh sebab itu, dalam tulisan kali ini, saya ingin mengajak setiap gembala sidang untuk memikirkan hakikat penggembalaan dan sikap dasar yang harus dikembangkan dalam penggembalaan.
Kita mulai dengan menelusuri arti kata 'gembala' dalam tradisi imperium. Dalam tradisi imperium, seperti Babilonia atau Assyria, kata 'gembala' (re'u) diartikan sebagai pemimpin. Para pemimpin, khususnya pemimpin masa depan, selalu dipahami sebagai orang-orang yang akan melindungi domba-domba, dalam artian menjaga semua orang. Jadi, 'gembala' dalam tradisi imperium dipahami sebagai seorang pemimpin yang bertugas untuk mengawasi dan melindungi rakyatnya dari ancaman.
Sedangkan, dalam tradisi kenabian mula-mula di Israel, Yahweh disebut sebagai Gembala, karena Pribadi-Nya yang aktif memimpin, menuntun, mengarahkan Israel dalam perjalanan dari tanah Mesir menuju Tanah Perjanjian (Kanaan). Sebagai contoh, dalam Mazmur 23, di situ, raja Daud menggambarkan Yahweh sebagai Gembala Israel yang tidak pernah terlelap (tidur) dalam memimpin, melindungi, dan memelihara domba-domba-Nya, umat Israel.
Dalam kitab Injil-injil, Yesus digambarkan sebagai gembala yang baik bagi domba-domba-Nya (baca: Yoh. 10:1-21). Mengapa Yesus digambarkan sebagai seorang gembala yang baik? Karena Dia bukan saja mencari seekor domba yang tersesat atau hilang saja, melainkan juga rela mempertaruhkan nyawanya sendiri. Dalam injil Yohanes 21:15-19, Yesus Sang Gembala yang Baik, yang sudah bangkit dan mengalahkan kuasa maut itu, berdialog dengan Petrus di tepi pantai sembari memberinya amanat: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Jadi, tugas sebagai gembala itu sangat penting dan strategis.
Mengapa? Karena sebagai seorang gembala, ia harus mengawasi dan melindungi domba-dombanya. Kehilangan domba peliharaan, sekalipun hanya seekor saja, akan mencoreng nama baik dan kredibilitas sang gembala. Tidak hanya itu, karirnya sebagai gembala akan hancur. Demikian pengertian 'gembala' dalam tradisi imperium dan kenabian mula-mula di Israel.
Sekarang, kita akan beranjak lebih jauh dengan menelusuri arti kata 'penggembalaan' dalam konteks masa kini. Menurut Joni Stephen, penggembalaan pada dasarnya merupakan pelayanan yang memelihara dan membina kerohanian jemaat. Lebih jauh, M. Bons-Storm, mendefinisikan penggembalaan sebagai: a) mencari dan mengunjungi anggota jemaat satu per satu; b) mengabarkan firman Tuhan kepada mereka dalam situasi hidup mereka; c) melayani mereka sama seperti Yesus melayani mereka; d) supaya mereka lebih menyadari akan iman mereka dan dapat mewujudkan iman itu dalam hidup sehari-hari.Â
Kemudian, dalam Dokumen Keesaan Gereja: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (DKG-PGI) 2009-2014 dituliskan di situ bahwa penggembalaan merupakan pelayanan gereja yang memelihara, menuntun, membimbing, memberi pengertian, mengarahkan, dan menyadarkan warga jemaat bagi keutuhan hidupnya agar jemaat hidup dalam kasih, pengampunan, dan keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus.
Definisi di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar teolog pastoral Indonesia pada masa kini memahami pelayanan penggembalaan sebagai pelayanan yang diarahkan kepada individu-individu dalam gereja. Hal ini bisa dimengerti, oleh karena pelayanan penggembalaan yang dipraktikkan selama ini, dipengaruhi oleh pemahaman pelayanan penggembalaan dari gereja-gereja di Eropa, terutama Belanda yang sangat bercorak tradisional, dan juga dari Amerika Utara yang menekankan pelayanan pastoral individual.
Pemahaman pelayanan penggembalaan yang sempit dan terbatas ini, mendapat kritik yang tajam dari sejumlah teolog pastoral. Misalnya, Daniel Susanto dalam artikel ilmiahnya yang berjudul "Menggumuli Teologi Pastoral yang Relevan bagi Indonesia" menyatakan bahwa, pemahaman pelayanan penggembalaan yang bersifat sempit dan terbatas ini, sebenarnya tidak sesuai dengan konteks Indonesia.Â
Menurutnya, persoalan-persoalan yang dihadapi di Indonesia, jauh lebih sulit dan lebih kompleks dari hanya persoalan-persoalan individual semata. Adapun persoalan-persoalan yang lebih sulit itu seperti persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi, dan ekologi yang membutuhkan tanggapan pastoral secara serius.