2 Bulan lebih sejak pengumuman mundurnya Maroef Sjamsoeddin, mantan kepala BIN sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia cukup membuat publik Indonesia kebingungan, siapa yang akan menjadi pengganti posisi "seksi" ini. Sebelumnya, jabatan ini diduduki oleh berbagai orang dengan latar belakang berbeda, baik mereka yang punya pengalaman secara teknis dalam bidang pertambangan, maupun yang tidak sama sekali. Sebut Saja Armando Mahler, yang memang berkarir pada bidang operasi, sampai menduduki posisi puncak perusahaan ini, ataupun Maroef Sjamsoedin, yang background-nya jauh dari keteknikan dalam bidang pertambangan, tetapi dalam bidang intelijen negara.
Dalam carut marut kondisi ini, Maroef S menolak tawaran untuk tetap menjadi Presdir, dan pertanyaan publik mencuat, kenapa beliau mundur dari posisi prestise ini? Disaat posisi yang didambakan ini diincar oleh banyak orang. Melihat kekosongan ini, Pemerintah Daerah Papua kemudian maju dan menyatakan secara frontal, bahwa posisi nomor 1 perusahaan internasional ini harus di pegang oleh orang asli Papua, dan hal itu di back-up oleh semua komponen masyarakat. Artinya bahwa kalau permintaan ini terpenuhi, maka jabatan Presiden Direktur perusahaan ini menjadi sangat politis.
Adakah orang Papua yang akan mengambil posisi ini? kalaupun ada, pertanyaan selanjutnya adalah, sanggupkah?
Sembari mengikuti isu publik ini, saya sedang mengikuti kelas demi kelas dari dasar-dasar bisnis perusahaan yang diadakan di University of Sydney, bersama dengan beberapa pemimpin perusahaan ternama di Indonesia. Saya memiliki kesempatan banyak untuk bertanya dan meminta masukan dari mereka dari sudut pandang bisnis, terkait hal ini yang saya tuliskan dalam artikel ini.
Freeport, Papua dan Pemerintah Pusat NKRI
Beroperasinya Freeport di Papua, berhubungan erat dengan establishment dari industri pertambangan di Indonesia. Tahun 1967 adalah tahun pertama secara resmi undang-undang penanaman modal asing di perkenalkan, dan pertama emas dan tembaga Papua di ekstraksi oleh perusahaan ini untuk di ekspor.
Presiden RI saat itu: Soeharto, "memaksakan" undang-undang tersebut menjadi pemulus Amerika melalui Freport masuk dan merajah alam Papua, dengan dalih, keuntugan yang di dapat "dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Korban jiwa dari expansi kapitalis ini tidak sedikit, walaupun pemerintah pusat akan mendebat balik bahwa klaim pelanggaran hak asasi manusia tidak pernah terbukti karena tidak ada data yang tercatat (atau mungkin dimusnahkan).
Hal ini membuat terbentuknya hubungan "benci segitiga" (saya mencoba membuat istilah baru yang ekivalen dengan "cinta segitiga" yang artinya sama dalam konteks berlawanan) antara Freeport, Masyarakat Papua, dan Pemerintah Pusat. Freeport dan keberadaannya bagi masyarakat Papua melambangkan  power exercise Pemerintah Pusat untuk mengeruk kekayaan alam tanpa ada intensi untuk berkontribusi secara positif (hal ini aktif di sanggah freeport dengan mengumumkan kontribusi bagi Indonesia sebesar 15.8 Miliar dolar yang tercantum di website resmi mereka, dengan 1.3 Miliar Dolar didistribusikan untuk pengembangan Papua secara khusus, dan jumlah karyawan Papua total adalah 30%).
Pemerintah pusat, yang juga ingin memperoleh bagian dari kue tersebut kemudian memberikan tekanan kepada Freeport untuk mendivestasikan sebagian saham mereka ke pemerintah. Lebih dari itu, juga menuntut untuk menaikan jumlah royalti yang dibayarkan ke pemerintah Indonesia.
Dalam konteks ini, Freeport terjepit di antara dua tekanan besar, dan manajemen perusahaan tersebut harus menyediakan skenario terbaik untuk bertahan dan tidak bangkrut. Rendahnya harga komoditas mineral membuat kondisi freeport kian terpuruk, dengan rugi tercatat per Quarter terakhir 2015 sebesar 12 Milyar USD akibat lemahnya permintaan logam mineral yang adalah produk jualnya.
Ketika semua pihak berkeras dalam tuntutan masing-masing seperti diatas, bagaimanakah suara masyarakat Papua dapat di dengarkan, khususnya suku asli sekitar operasi seperti Suku Amungme dan Kamoro?
Konflik horizontal masyarakat Papua akibat isu ini
Sesaat setelah isu ini merebak, sebuah media nasional mengunggah berita dengan headline yang mengatakan bahwa Bapak Michael Manufandu mengatakan tidak ada orang Papua yang sanggup memimpin Freeport. Ternyata isi berita tersebut tidak konsisten dengan headline atau judulnya, dimana beliau mengungkapkan dalam wawancara yang kemudian tertuang dalam tulisannya: "seharusnya sudah ada orang Papua yang dapat memimpin perusahaan ini", kata beliau.
Hal diatas menunjukkan bahwa Bapak Manufandu berada pada posisi "pro-kepentingan" masyarakat Papua, dan bukan meragukan kemampuan orang Papua seperti yang di maksudkan oleh headline berita tersebut. Kalau begitu, mengapa situs berita nasional mempotret isi berita yang tidak sama dengan headline-nya? secara gamblang, kita dapat langsung menyimpulkan bahwa ada unsur adu domba disini, antara Bapak Manufandu yang juga adalah orang Papua, dengan masyarakat Papua lain secara luas.
Itu terjawab dengan komentar-komentar pedas yang menyakitkan dari masyarakat Papua terhadap Bapak Manufandu, yang mengatakan bahwa sebagai orang Papua, beliau sendiri merendahkan Papua.
Adu domba seperti ini bukan pertama terjadi, sudah terjadi sebelum-sebelumnya, dalam berbagai aspek. Sebut saja berita yang menggadang-gadangkan konflik horizontal antara masyarakat pesisir dan gunung (padahal kami sama-sama orang-orang Papua), atau juga pertentangan antara Papua muslim dan kristen yang di potret setelah insiden Tolikara (padahal kami masyarakat Papua yang berbeda agama hidup rukun berdampingan selama ratusan tahun sebelumnya, di pesisir barat tanah ini, seperti di Fak-fak, Kaimana dan Bintuni), bahkan isu yang mengantagoniskan masyarakat pendatang atau campuran Papua yang "menjajah" masyarakat asli (dan ini sangat menyedihkan, karena hubungan kekeluargaan kami terjaga secara rukun selama ini).
Isu Freeport ini pun sudah dijadikan wadah oleh orang-orang Jahat untuk mengadu domba masyarakat Papua, hati-hati.
Jabatan bisnis bukan posisi yang dapat diperoleh secara politis
Kembali ke isu Freeport diatas, solusi yang seakan kasat mata adalah bahwa untuk menjadi penjembatan "benci segitiga" ini, posisi presiden direktur perusahaan ini haruslah orang papua (tidak perduli apakah dia memiliki latar belakang yang mumpuni atau tidak). Tepatkah?
Pertama, PTFI adalah perusahaan dengan tujuan utama bisnis, yaitu mendatangkan keuntungan maksimal untuk para pemegang saham, dan dalam kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang ini, harus mumpuni untuk membuat perusahaan bertahan dari kebangkrutan. Urusan good corporate governance, seperti kontribusi untuk daerah dan pembangunan masyarakat Papua, adalah proses social compliance, or license to operate. Artinya, ini bukan yang utama (tentunya kita sebagai masyarakat biasa akan menentang pandangan ini, tetapi keuntungan sebenarnya adalah tujuan adanya sebuah bisnis, terlepas dari konsep sustainability yang menilai sebuah perusahaan lebih dari sekedar mencari keuntungan semata)
Sebab itu, untuk mencapai tujuan ini, semestinya orang yang akan memimpin perusahaan ini wajib memiliki track record yang panjang dan mengerti proses bisnis yang kompleks dari sebuah operasi bisnis berskala internasional.
Kedua, melihat ke contoh nyata dalam dunia bisnis. Sebut saja dua contoh CEO sukses baik secara internasional, maupun di Indonesia yang saya ambil sebagai contoh. Semua tentunya pernah minum kopi Starbucks, merek dan chain internasional yang sangat besar. Howard Schultz, lulusan university of Northern Michigan, yang juga adalah founder dan CEO perusahaan ini tidak memperoleh posisi nomor 1 karena dorongan politis, tetapi profesionalisme, perjalanan panjangnya selama puluhan tahun mematangkan, dan membesarkan perusahaan ini.
Freeport tidak akan mampu beroperasi secara resilience , tidak mampu bertahan dalam kondisi bisnis yang sulit karena harga komoditas yang jatuh ini, dan kegagalan tersebut akan menjadikan kita semua bahan tertawaan orang luar. Bukan hanya itu, dalam skenario bisnis gagal beroperasi karena keemimpinan yang salah, 30% karyawan Freeport yang adalah Papua, juga akan terancam kehilangan sumber mata pencaharian mereka ketika perusahaan ini, karena pemimpin yang tidak capable. Jangan lupa, lebih dari 34% uang yang beredar di masyarakat dalam bentuk GDP berasal dari operasi perusahaan ini, dan uang tersebut menolong menstimulasi perekonomian daerah.
Terlalu ekstrim menyatakan bahwa perusahaan ini tidak memiliki manfaat untuk Papua juga salah. Pertanyaan yang harus dijawab, dengan kehadiran Freeport yang yang menyerap lebih dari 12,000 orang Papua saja, masih ada 57 ribu lebih penganggur. Artinya pemerintah daerah tidak sanggup memberikan pekerjaan untuk 57 ribu lebih orang Papua, dan Freeport sudah membantu memberikan pekerjaan tersebut. Menyetop operasi perusahaan ini dengan arogan sebagai ancaman jika pemimpin yang terpilih bukan Papua, lalu saudara-saudara kita yang sedang mencari makan disana harus bekerja dimana?
Kriteria dan Transparansi Pemilihan
Seperti sudah dideskripsikan diatas, seorang pemimpin bisnis yang dibutuhan Freeport saat ini adalah yang mengerti strategi bisnis untuk mengangkat perusahaan ini dari kebangkrutan, dengan meningkatkan efisiensi kerja dari freeport, mengurangi cost, atau memodifikasi instrumentasi finansial untuk meningkatkan profitabilitas.
Ini bukanlah hal yang sederhana, sesederhana memimpin sebuah organisasi kemasyarakatan. Seseorang tersebut harus tahu secara menyeluruh industri pertambangan dari aspek teknikal, agar mampu melakukan inovasi. Seseorang tersebut harus memiliki pengetahuan bisnis internasional, agar mampu membawa strategi manajemen yang terbaik. Mudahnya, apakah dia pernah menjalankan sebuah perusahaan internasional dan mengoperasikannya dengan efisien? apakah dia memiliki gelar akademis bisnis dari institusi pendidikan dengan reputasi yang baik?
Prioritas harus diberikan kepada orang Papua, untuk menyaring mereka yang memiliki karakter dan kapabilitas memadai. Paling utama adalah proses penyaringan harus transparan, baik dari sisi kriteria, maupun langkah-langkah yang melibatkan konsultasi dengan semua stakeholders.
Dengan ini, maka tidak akan ada lagi pertanyaan dari seluruh publik, karena semua jelas di mata masyarakat. Apabila belum ada orang Papua dengan kriteria memadai, maka masyarakat Papua harus berbesar hati bahwa mungkin memang sekarang belum saatnya. Akan tetapi, perusahaan dan pemerintah harus melakukan langkah seribu dari sekarang, untuk menyiapkan program persiapan bagi pemimpin perusahaan masa depan dari perusahaan ini.
Proses menjadi pemimpin bisnis berskala internasional butuh perjalanan panjang, dan investasi yang serius. Freeport dan pemerintah daerah harus serius untuk mempersiapkan orang Papua berada pada posisi kepemimpinan ini secepat dan seefisien mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H