Hal diatas menunjukkan bahwa Bapak Manufandu berada pada posisi "pro-kepentingan" masyarakat Papua, dan bukan meragukan kemampuan orang Papua seperti yang di maksudkan oleh headline berita tersebut. Kalau begitu, mengapa situs berita nasional mempotret isi berita yang tidak sama dengan headline-nya? secara gamblang, kita dapat langsung menyimpulkan bahwa ada unsur adu domba disini, antara Bapak Manufandu yang juga adalah orang Papua, dengan masyarakat Papua lain secara luas.
Itu terjawab dengan komentar-komentar pedas yang menyakitkan dari masyarakat Papua terhadap Bapak Manufandu, yang mengatakan bahwa sebagai orang Papua, beliau sendiri merendahkan Papua.
Adu domba seperti ini bukan pertama terjadi, sudah terjadi sebelum-sebelumnya, dalam berbagai aspek. Sebut saja berita yang menggadang-gadangkan konflik horizontal antara masyarakat pesisir dan gunung (padahal kami sama-sama orang-orang Papua), atau juga pertentangan antara Papua muslim dan kristen yang di potret setelah insiden Tolikara (padahal kami masyarakat Papua yang berbeda agama hidup rukun berdampingan selama ratusan tahun sebelumnya, di pesisir barat tanah ini, seperti di Fak-fak, Kaimana dan Bintuni), bahkan isu yang mengantagoniskan masyarakat pendatang atau campuran Papua yang "menjajah" masyarakat asli (dan ini sangat menyedihkan, karena hubungan kekeluargaan kami terjaga secara rukun selama ini).
Isu Freeport ini pun sudah dijadikan wadah oleh orang-orang Jahat untuk mengadu domba masyarakat Papua, hati-hati.
Jabatan bisnis bukan posisi yang dapat diperoleh secara politis
Kembali ke isu Freeport diatas, solusi yang seakan kasat mata adalah bahwa untuk menjadi penjembatan "benci segitiga" ini, posisi presiden direktur perusahaan ini haruslah orang papua (tidak perduli apakah dia memiliki latar belakang yang mumpuni atau tidak). Tepatkah?
Pertama, PTFI adalah perusahaan dengan tujuan utama bisnis, yaitu mendatangkan keuntungan maksimal untuk para pemegang saham, dan dalam kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang ini, harus mumpuni untuk membuat perusahaan bertahan dari kebangkrutan. Urusan good corporate governance, seperti kontribusi untuk daerah dan pembangunan masyarakat Papua, adalah proses social compliance, or license to operate. Artinya, ini bukan yang utama (tentunya kita sebagai masyarakat biasa akan menentang pandangan ini, tetapi keuntungan sebenarnya adalah tujuan adanya sebuah bisnis, terlepas dari konsep sustainability yang menilai sebuah perusahaan lebih dari sekedar mencari keuntungan semata)
Sebab itu, untuk mencapai tujuan ini, semestinya orang yang akan memimpin perusahaan ini wajib memiliki track record yang panjang dan mengerti proses bisnis yang kompleks dari sebuah operasi bisnis berskala internasional.
Kedua, melihat ke contoh nyata dalam dunia bisnis. Sebut saja dua contoh CEO sukses baik secara internasional, maupun di Indonesia yang saya ambil sebagai contoh. Semua tentunya pernah minum kopi Starbucks, merek dan chain internasional yang sangat besar. Howard Schultz, lulusan university of Northern Michigan, yang juga adalah founder dan CEO perusahaan ini tidak memperoleh posisi nomor 1 karena dorongan politis, tetapi profesionalisme, perjalanan panjangnya selama puluhan tahun mematangkan, dan membesarkan perusahaan ini.
Freeport tidak akan mampu beroperasi secara resilience , tidak mampu bertahan dalam kondisi bisnis yang sulit karena harga komoditas yang jatuh ini, dan kegagalan tersebut akan menjadikan kita semua bahan tertawaan orang luar. Bukan hanya itu, dalam skenario bisnis gagal beroperasi karena keemimpinan yang salah, 30% karyawan Freeport yang adalah Papua, juga akan terancam kehilangan sumber mata pencaharian mereka ketika perusahaan ini, karena pemimpin yang tidak capable. Jangan lupa, lebih dari 34% uang yang beredar di masyarakat dalam bentuk GDP berasal dari operasi perusahaan ini, dan uang tersebut menolong menstimulasi perekonomian daerah.
Terlalu ekstrim menyatakan bahwa perusahaan ini tidak memiliki manfaat untuk Papua juga salah. Pertanyaan yang harus dijawab, dengan kehadiran Freeport yang yang menyerap lebih dari 12,000 orang Papua saja, masih ada 57 ribu lebih penganggur. Artinya pemerintah daerah tidak sanggup memberikan pekerjaan untuk 57 ribu lebih orang Papua, dan Freeport sudah membantu memberikan pekerjaan tersebut. Menyetop operasi perusahaan ini dengan arogan sebagai ancaman jika pemimpin yang terpilih bukan Papua, lalu saudara-saudara kita yang sedang mencari makan disana harus bekerja dimana?