Mohon tunggu...
Cerpen

Sweet Toxicity

14 November 2016   16:12 Diperbarui: 14 November 2016   16:19 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Toksik, sebuah kata sifat yang dapat berarti mudah meracuni, merusak, dan mengkorosi benda lainnya dengan hanya kontak minim. 

Terkadang, hal-hal yang manis dalam dunia ini bersifat toksik. Hal-hal yang indah, menarik, meluluhkan jiwa  banyak hal yang manis pada awalnya akan bermetamorfosis kepada tahap berikutnya, menjadi pahit, pedih, dan hitam. Seakan hal tersebut adalah narkoba, nikmat namun menghancurkan perlahan. Ironis, memang, namun itulah realita.

Percaya kepadaku, cinta itu manis, namun bersifat toksik. 

Segalanya bermula dan berakhir pada malam hari itu, dua malam hari yang identik, hampir sama. Bintang gemerlapan berjatuhan mengguyur langit gelap di angkasa, dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang selalu mengingatkanku akan kata-katamu. Pada sebuah malam di bulan kelima, tepatnya pada tanggal delapan Mei, aku bertemu denganmu. 

Namun, pada hari itu, rasanya kau berbeda, walau diriku sudah melihat wajahmu dari sejak kita kecil dahulu.

Baru saja aku menyelesaikan tugas, hari sudah menjelang malam. Aku berpikir, mungkin ada baiknya aku menuju ke atap sekolah daripada langsung pulang, berhubungan hari ini adalah hari dimana meteor shower terjadi  sebuah peristiwa langka, dimana bintang seakan berjatuhan dari luar angkasa, padahal itu hanyalah fragmentasi dari sesuatu yang mengenai atmosfer bumi, kemudian pecah. Kemudian kau tiba-tiba muncul di sana.

“Kau, kenapa belum pulang?”

“Kan sudah kubilang aku menunggumu.”

“Kan sudah kubilang, lebih baik kau langsung pulang. Aku akan mendengar apa yang kau ingin katakan hari ini nanti ma-“

Ia, gadis yang bernama Rin, teman baikku sejak kecil, mendekat ke arahku dan menarik dasiku dengan dua gerakan yang sangat cepat. Matanya... matanya merah dan berkaca-kaca.

“Ia mengusirku.”

Itulah yang dirimu ujarkan berulang-ulang kali, menggunakan suara mungil nan imutmu itu, suara yang selalu terngiang di dalam benakku setiap saat. Setelah dua kata tersebut terdengar di telingaku, kau tersungkur jatuh memelukku, bahkan hampir mendorongku jatuh ke tanah. 

Itulah saat dimana aku memutuskan bahwa aku tidak akan pernah melihatmu menangis lagi. Tidak akan. 
Keluargamu tidak peduli lagi? Baiklah kalau begitu.

Waktu dan realita pada saat itu seakan berhenti, menunjukkan gambar-gambar kelabu yang tak kunjung berhenti mengalir. Kenangan-kenangan lewat dan pergi, racun toksik tersebut sudah menyerangku, dan aku tak tahu cara melawan hal itu. Sejujurnya, aku ingin bebas- namun apa daya diriku? Manis, namun toksik. Itulah cinta.

Tanpa kusadari, aku sudah berdiri di depanmu, berpakaian hitam dan memegang kedua tangan putihmu. 

“Hei, kamu memikirkan apa? Harusnya hari ini kamu hanya melihat ke arahku, tahu.”

Aku tersenyum kecil. Suara-suara mengenai janji dan ikatan bergema di belakangku, namun benakku tetap berpikir betapa ter-racuninya diriku oleh dirimu saat ini. 

“Haha, tak apa-apa. Aku hanya teringat jaman dulu, saat seorang Rin berumur tujuhbelas di usir dari rumahnya karena keluarganya."

“Hei, itu masa lalu. Sekarang Rin itu kan sudah menjadi isterimu. Jadi kembalilah ke realita,” katanya sambil mengeratkan genggamannya di tanganku. Senyumannya menghipnotisku, dan beberapa saat kemudian aku terbalut dalam kehangatannya, kenyamanan yang ku tidak pernah ketahui sebelumnya.

Saat itu pula, aku menjerumuskan diriku ke arah kegelapan. Kembali lagi waktu memberhentikan dirinya, menunjukkan gambar-gambar monokrom yang berbeda dari sebelumnya- dan lama kelamaan, aku tidak lagi peduli dengan racun yang mencemari diriku ini. Kini, untuk terakhir kalinya, di malam yang identik dengan malam itu, aku berdiri di depanmu, dihujani latar meteor shower yang mengundang sejuta nostalgia untuk meledak di dalam diriku.

"Hei, Rin."

"Sebelum apapun, jangan menangis seperti itu. Aku yakin, kita selalu akan bersama, apapun yang terjadi."

"Tidak, aku hanya ingin berterima kasih atas racun yang kau beri kepadaku."

"Pfft, kau... memang satu-satunya di dunia ini... Bahkan di saat ini, kau masih sempat membuatku tersenyum."

Cinta itu toksik, sebuah racun yang menyerang setiap manusia yang menginjakkan kakinya di bumi, dan membuat gila. Sebuah toksik manis, cinta adalah racun terindah di seluruh dunia.

"Terima kasih untuk segalanya, Rin."

Dan dengan senyuman, ia memejamkan matanya.

-fin-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun