“Kamu kenapa bete begitu, Cep? Santai saja. Kita ini cuma warga negara biasa yang tak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, kita masih harus mendekam di sini beberapa tahun lagi. Jadi jangan sok memikirkan nasib bangsa deh!”
Mata Cepi memicing ke arah Memet sebentar, lalu kembali menatap langit yang kini masih sesak dengan layang-layang beraneka warna, gambar binatang, dan gambar makhluk luar angkasa.
“Kalau begini, rakyat sama sekali tak benar-benar memegang kedaulatan ya, Met.”
“Begitulah. Sayangnya, demokrasi Pancasila yang selama ini digaung-gaungkan tak pernah berhasil membuat pemegang kuasa menjalankan amanat Pancasila. Pancasila akhirnya cuma omong kosong belaka di pikiran mereka.”
Cepi kembali mengembus napas berat. Matanya sayu melihat sebuah layang-layang putus. Tidak cuma satu, bahkan dua, lalu tiga! “Lalu, demokrasi seperti apa yang mestinya dipraktikkan, Met? Demokrasi yang menjamin rakyat mendapatkan kesejahteraan dan keadilan.”
Sejenak Cepi menunggu jawaban dari Memet sembari menujukan pandangnya ke langit cerah. Namun ia curiga pertanyaannya tak kunjung menemui jawaban. Saat pandangnya ditolehkan ke memet, ia sangat terkejut sahabat karibnya itu telah lenyap dari posisi duduknya.
Memet berlari menuju dinding penjara sambil mendongakkan wajah.
“Sompret kau, Met! Ternyata kau mengejar layang-layang putus!”
Sambil berlari menyusul Memet, Cepi menggamit sapu lidi bergagang. Melihatnya Memet kelabakan.
“Kamu jangan curang begitu dong, Cep! Tangan kosong!”
“Lho, salah kamu sendiri mengejar layang-layang kok tidak pakai galah!”