Kala senyap merayap lamat dalam gelap pada lanskap tanah yang melahap jiwa-jiwa yang terlelap.
Mendekap, memeluk erat dan memberi isyarat "Hidup kita semakin berkarat!".
Semua akan tamat, manusia sudah tersesat.
Semua perjalanan, pengabdian hanya tinggal riwayat.
Menahan hasrat yang hanya tinggal seperempat.
Di ujung langkah kaki yang berjalan di atas tumpukan mayat.
Membuang hikayat warisan kesumat kaum-kaum terlaknat.
Yang berkhotbah di atas reruntuhan kota keramat.
Iman sekarat.
Ulama maut.
Membangun imaji dari dasar laut.
Penjilat pantat Nabi palsu berwujud birokrat dan korporat.
Membabat habis seisi belukar rimba filsafat.
Bersejawat dengan malaikat untuk mempercepat proses kiamat.
Umat sejatinya tak pernah bertaubat.
Sekadar membaca ayat, mengabaikan pesan-pesan yang tersirat.
Tak akan selamat, memang sudah berkarat.
Waktu sudah mencapai tenggat.
Saatnya merapat, kita manusia-manusia keparat.
Yang hidup menolak untuk taat terhadap segala jenis berhala penebar pekat,
pelebar sekat, penjual jimat.
Aku rakit dua buah sayap, terbang menolak melenyap.
Menggenggam pedang dan belati, Â merobek langit, menebas mentari.
Diiringi nyanyian suci para martir bumi.
Menagih janji yang ditinggalkan oleh Sang Ilahi.
Berupa surga, yang sudah tidak layak 'tuk dihuni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H