Mohon tunggu...
Bije Widjajanto
Bije Widjajanto Mohon Tunggu... Konsultan Bisnis -

Konsultan strategi bisnis, franchising, pengembangan UKM, strategi marketing

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Benarkah Taksi Online Praktek Bisnis Tak Wajar?

28 Maret 2016   21:39 Diperbarui: 29 Maret 2016   01:08 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Antara Kelayakan Bisnis dan Manfaat Bagi Konsumen

Sejak saya posting artikel saya tanggal 22 Maret 2016 yang berjudul: “Taksi Konvensional vs On-line: Sebuah Perdebatan Panjang yang Kehilangan Fokus dan Bisa Jadi Isu Politik", selama 2 hari berikutnya saya terlibat dalam banyak diskusi di beberapa grup WA dan FB. Dalam diskusi-diskusi itu, saya merasa seakan-akan menjadi orang aneh karena saya menyebut bahwa taksi on-line menerapkan model bisnis yang tidak wajar. Banyak orang yang menyanggahnya dengan berbagai alasan yang intinya jaman sekarang tidak bisa lagi melawan perkembangan teknologi. Banyak manfaat yang diperoleh dari bisnis taksi on-line.

Soal manfaat, tidak saya pungkiri. Sampai saat ini status saya masih pengguna semua modus transportasi on-line mulai uber, grab sampai gojek. Tidak hanya di Indonesia, saya juga menggunakannya di luar negeri dalam 2 tahun terakhir ini. Sangat sering saya pakai untuk mengantar dan menjemput anak sekolah. Banyak sekali manfaat yang saya dapat dari taksi on-line: identitas mobil, identitas sopir yang jelas, nomor telepon sopir, perkiraan waktu sampai, lokasi mobil saat dipanggil, perkiraan biaya, rute perjalanan dlsb.

Sebagai konsumen, tidak ada alasan sedikitpun untuk menolak bahwa taksi on-line bermanfaat bagi saya dan saya sangat menyukainya. Namun sesuai profesi saya sebagai konsultan bisnis, saya harus obyektif melihat bagaimana sebuah model bisnis dibangun dan dioperasikan, dengan mengeluarkan diri sebagai pengamat yang tidak terlibat dalam proses bisnisnya. Dan dari pandangan saya tersebut, saya menilai bahwa model bisnis taksi on-line yang beroperasi di Indonesia ini tidak wajar.

Mengapa tidak wajar? Bisnis yang  wajar ada urutan rantai manfaat dari produsen ke konsumen yang tidak terputus. Rantai manfaat itu pada arah yang berlawanan diseimbangkan oleh ratai uang. Apabila rantai itu dipersempit hanya terhadap 2 pihak saja, yaitu ada produsen dan konsumen. Produsen memproduksi manfaat melalui sebuah  produk dengan biaya tertentu (X), kemudian manfaat barang itu dibeli oleh konsumen yang membutuhkan manfaat barang itu dengan harga tertentu (Y). Dalam bisnis yang wajar harga jual (Y) selalu lebih besar daripada biaya produksi (X). Dan selisihnya itu yang kemudian di sebut keuntungan atau profit (P).

Dalam pola yang wajar, bisnis harus menghasilkan keuntungan (profitable) di mana produsen mendapat keuntungan. Keuntungan inilah yang secara alami memungkinkan bisnis tersebut beroperasi secara mandiri dan berkelanjutan (sustainable). Juga dari keuntungan itulah bisnis mempunyai sumber daya untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang mengancam keberlanjutan bisnis tersebut.

Ilustrasi matematis sederhananya seperti ini:

                P = Y – X

                Apabila Y > X, maka P > 0, artinya produsen untung dan model bisnis wajar

                Apabila X < Y, maka P < 0, artinya produsen rugi dan model bisnis tak wajar

Bagaimana yang terjadi di taksi on-line? Dari sinilah saya menilai model bisnis taksi on-line itu tidak menghasilkan keuntungan bagi pengusahanya. Oleh karenanya bisnis ini tidak wajar dan keberlanjutannya dipertanyakan. Sampai kapan bisnis itu dapat beroperasi sendiri tanpa campur tangan sistem di luar rantai manfaat yang terjadi?

Bagaimana penjelasannya? Pada model taksi on-line ada 3 pihak yang terlibat dalam rantai manfaat yaitu: 1) Penumpang, 2) Pemilik mobil dan sopir dan 3) Pemilik dan operator aplikasi.

Neraca rantai manfaat - uangnya masing-masing pihak sebagai berikut:

1. Penumpang

Penumpang butuh melakukan perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Menggunakan aplikasi taksi on-line penumpang bisa memesan taksi untuk menjemput di lokasi asal dan mengantarkan ke lokasi tujuan. Berdasarkan pesanan perjalanan, pemilik mobil menjemput penumpang dan membawa penumpang tersebut ke tujuan. Sampai di tujuan, penumpang membayar sejumlah biaya yang tercantum pada aplikasi. Pembayaran tunai diterima oleh pengemudi mobil sedangkan pembayaran dengan kartu kredit diterima di rekening pemilik aplikasi. Neraca manfaat dari perspektif penumpang:

        Manfaat Aplikasi + Manfaat Mobil = Pembayaran Tarif Perjalanan

2. Pemilik Mobil

Pemilik mobil melalui pengemudi mendapat informasi pesanan perjalanan penumpang dan menerima pesanan tersebut. Dengan menggunakan mobilnya pengemudi menjemput penumpang di lokasi penjemputan dan mengantar ke lokasi tujuan sesuai degan informasi yang ada di aplikasi. Pengemudi menanggung seluruh biaya pemakaian mobil mulai dari bahan bakar, perawatan, penyusutan dan penyimpanan mobil. Pada akhir perjalanan pengemudi menerima pembayaran tunai dari penumpang atau cukup menagih melalui kartu kredit penumpang yang akan ditarik oleh pemilik aplikasi senilai tarif yang tercantum di aplikasi. Pada keadaan khusus penumpang memberikan tip. Neraca manfaat dari perspektif pemilik mobil

        Pembayaran Tarif Perjalanan = Biaya Pemakaian Mobil + Biaya Pemakaian Aplikasi

3. Pemilik Aplikasi

Pemilik Aplikasi menangkap pesanan penumpang yang membutuhkan jasa transportasi dan meneruskan kepada pemilik mobil yang berada di sekitar penumpang dan dibutuhkan waktu singkat untuk mencapainya. Penumpang dan pemilik mobil harus mengunduh dan menginstal di perangkat gadget mereka. Pemilik aplikasi juga akan menagihkan biaya perjalanan ke kartu kredit penumpang apabila menggunakan mode pembayaran kartu kredit. Dari sisi biaya, pemilik aplikasi harus menanggung biaya aplikasi yang meliputi: infrastruktur, operasional dan perawatan aplikasi, gaji karyawan dan biaya operasional perusahaan. Selain itu juga membayar premi asuransi baik penumpang dan pengemudi. Neraca manfaat dari perspektif pemilik aplikasi:

        Pembayaran Tarif Perjalanan = Biaya Aplikasi + Biaya Perusahaan + Biaya Asuransi + Pajak

Melihat bahwa Pembayaran Tarif Perjalanan penumpang diteruskan seluruhnya kepada pemilik mobil, maka bisa diartikan bahwa neraca manfaat dari perspektif pemilik aplikasi tidak seimbang. Pemilik aplikasi harus menanggung sendiri biaya aplikasi, biaya perusahaan, biaya asuransi dan pajak tanpa kontribusi dari penumpang maupun pemilik mobil. Pengecualian pada kasus Grab di Jakarta dalam beberapa bulan terakhir, pemilik mobil harus membayar sebagian dari penerimaan dari penumpang kepada pemilik aplikasi.

Biaya perusahaan yang harus ditanggung oleh pemilik aplikasi tidaklah kecil. Pada umumnya perusahaan ini dikelola oleh para profesional papan atas dengan tarif gaji yang tergolong tinggi. Selain itu juga biaya pemasaran yang sangat intensif untuk menarik pengguna aplikasi dan mendapatkan penumpang sebanyak-banyaknya. Dalam berbagai kasus, pemilik aplikasi rela untuk memberikan insentif baik kepada pemilik mobil dengan memberikan bonus per kilometer. Demikian juga pemilik aplikasi memberikan insentif kepada penumpang dengan tarif yang rendah.

Nah besarnya biaya ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana pemilik aplikasi memenuhi kebutuhan biaya rutin yang sangat tinggi tersebut?

Ada teori bahwa pemilik aplikasi sedang membangun database baik data konsumen maupun data pemilik mobil. Ketika database sudah terkumpul maka dapat memetik keuntungan finansial, misalnya dengan memasang iklan atau menjadikan aplikasinya sebagai media promosi. Hal ini sangat masuk akal, karena model yang sama juga dilakukan oleh Google yang nilai transaksinya sudah sangat besar. Namun untuk kasus aplikasi taksi on-line saya masih menyanksikan teori itu bisa bekerja.

Mengapa saya menyanksikan? Penelusuran saya dari berbagai sumber menghasilkan kesimpulan yang senada antara uber, grab dan gojek. Mereka memulai aplikasi tersebut dari seed funding selanjutnya meningkatkan kapasitas modalnya dengan melakukan fund raising. Sampai saat ini total dana sangat besar sudah berhasil dihimpun dalam waktu relatif sangat pendek. Dalam 7 tahun Uber telah mengumpulkan modal sampai USD 18,2 milyar. Sementara Grab  dalam waktu 5 tahun sejak dimulai tahun 2011 telah mendapatkan pendanaan USD 1 milyar lebih lebih dari berbagai sumber.

Secara normatif, modal bisnis dikembalikan dengan mengumpulkan keuntungan/profit. Dengan modal yang fantastis tersebut dan hingga saat ini bisnis taksi on-line belum mendapatkan keuntungan, maka pertanyaan saya adalah berapa lama bisnis ini akan balik modal.

 

Bije Widjajanto

Konsultan Franchise Ben WarG Consulting, Komisioner Pendidikan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Pengasuh dan Coach Komunitas Waralaba Nusantara (KAWAN), Direktur Indonesia Center for Franchising Studies (ICeFS).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun