Mohon tunggu...
Bijak Diaz
Bijak Diaz Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Untirta

Mahasiswa Untirta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fanatisme, Apakah Diperlukan?

3 Desember 2019   13:49 Diperbarui: 3 Desember 2019   14:00 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Bijak Diaz Afianto 

Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan kata Fanatisme, kata ini sering kita jumpai di berbagai media seperti Fanatisme terhadap agama, Fanatisme terhadap ideologi atau bahkan fanatisme terhadap suatu klub sepakbola kebanggaan. Tapi apa sih arti dari kata Fanatisme itu sendiri? 

Fanatisme menurut KBBI berarti keyakinan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran politik, agama, ideologi ataupun hobi. Jadi bisa dibilang Fanatisme adalah sebuah keadaan seseorang atau kelompok yang menganut suatu paham baik politik, agama, budaya dan lainnya secara berlebihan. 

Bisa dikatakan seseorang yang fanatik memiliki standar yang bisa dibilang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya bertentangan, sekalipun opini atau ide tersebut merupakan kebenaran. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, orang - orang fanatik sebagian besar mudah tersinggung bila sang figur berkepentingan atau orang yang diidolakannya dijadikan bahan lelucon atau parodi. 

Salah satu contoh kasus fanatisme yang paling terkenal dalam sejarah skala internasional ialah berdirinya organisasi ekstrimis yang bernama Ku Klux Klan ( KKK ) yang dibentuk pada awal abad 20 yang mengklaim bertujuan untuk mewujudkan supremasi ras orang kulit putih dan membantai masyarakat ras lain dengan cara yang tergolong keji dan tidak manusiawi. 

Sedangkan di Nusantara, terdapat kasus fanatisme yang berbentuk pembakaran tempat ibadah yang terjadi di salah satu daerah di Sumatera Utara yang akhirnya terungkap ternyata hanya salah paham dari salah satu pihak. Tapi nasi sudah menjadi bubur, karena terbutakan oleh Fanatisme, para tersangka sudah terlanjur menghanguskan beberapa rumah ibadah seperti dua Wihara dan lima Kelenteng dan juga menghanguskan beberapa rumah warga minoritas pada kasus yang terjadi beberapa tahun silam ini. 

Fanatisme juga tidak melulu soal kehidupan berpolitik atau beragama, karena fanatik terhadap sesuatu yang kita sukai pun bisa menimbulkan konflik, seperti contoh perseteruan yang sudah tidak asing di telinga lagi antara penggemar klub sepak bola Persija Jakarta dan Persib Bandung yang sedari dulu rutin menghiasi koran atau televisi dengan berita tidak mengenakkan dari kedua kubu yang memang tidak akur tersebut. 

Semua konflik yang disebutkan hanyalah a tip of the iceberg ( sebuah bongkahan es kecil dari suatu gunung es yang besar ) karena masih banyak konflik nasional yang terjadi hanya karena suatu kubu memiliki aliran fanatisme terhadap sesuatu. Sebenarnya ada satu tipe Fanatisme lainnya yaitu Fanatik akan suatu merk atau brand ( Consumer Fanaticism ) tapi tipe Fanatisme ini tidak bisa digolongkan menjadi salah satu konflik yang bisa memecah suatu negara atau bisa disebut konflik nasionalis. 

Apakah salah apabila seseorang bersikap fanatik? Fanatisme sebenarnya sah-sah saja untuk dilakukan, namun ada baiknya tetap membuka diri dengan secara bijak untuk menerima pahampaham lainnya dalam membentuk kerangka berpikir logis atau bisa disebut juga dengan open minded. " Diatas langit masih ada langit ", inilah kalimat pepatah yang harus tetap kita pegang dalam kerangka berpikir tentang fanatisme. 

Yang mungkin jadi masalah sekarang adalah fanatisme sempit, sebuah sikap yang dimana suatu kelompok selalu merasa lebih superior dan segala sesuatu yang dipahaminya adalah kebenaran absolut sehingga ketika ada perbedaan pendapat sedikit saja dengan kelompok lain bisa menimbulkan perpecahan.

Sifat ini disebabkan oleh ketidaksukaan terhadap individu atau kelompok lain karena beda sudut pandang atau tidak sepaham dengan kelompoknya tanpa didasari alasan yang masuk akal dan logis. Rasa suka yang berlebihan kepada suatu hal menimbulkan pertentangan kepada yang tidak disukai sehingga secara tidak langsung membuat seseorang tersebut menjadi orang yang close minded. 

Saya ambil kejadian Pilpres 2019 sebagai contoh kasus dari Fanatisme Sempit, karena event ini masih terasa segar di ingatan orang banyak. Saat itu dari bulan September 2018 sampai April 2019 atau bisa dibilang musim Pemilu, Indonesia terbagi atas dua kubu yaitu kubu 01 dan 02 yang masing-masing memiliki julukan yang kurang enak didengar yang diambil dari nama hewan. Baik pendukung 01 dan 02, mereka sama buruknya bagi yang menganut fanatisme sempit karena mereka menghalalkan segala cara agar paslon yang dipilih menang dan kelihatan sempurna dibanding kompetitornya. Yang dimaksud menghalalkan segala cara disini ialah seperti menyebar fitnah dan hoax yang berpotensi menjatuhkan lawan atau bisa disebut juga dengan kampanye hitam ( black campaign ). 

Masyarakat seolah kembali ke insting manusia purba yaitu insting mencari rasa nyaman, walau harus percaya kebohongan. Masyarakat menelan apapun yang membuat mereka merasa aman dan merasa menang. Lambat laun, gaya masyarakat berpolitik jadi tak ada bedanya seperti suporter bola yang dituding menjadi salah satu sumber konflik tersering. Mereka pikir menang adalah segalanya. Mereka ada di dimensi yang jauh berbeda dengan elite politik. Konflik, konsensus, dan kompromi adalah komoditas yang masih awam untuk masyarakat. 

Padahal, persaingan elite politik kita dari dulu hanya begitu-begitu saja. Tidak ada kawan dan lawan abadi. Konflik biasa, konsensus dan kompromi pun cair-cair saja. Mendadak cari " wapres ulama " atau mendadak cari wapres yang langsung auto santri pun santai saja. Bermain di dua kaki juga sudah biasa. Pindah kubu politik pun adalah praktik-praktik lama yang sedari dulu sudah ada. 

Masalah Fanatisme sempit berbentuk kampanye hitam ini juga pernah terjadi pada masa pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 saat Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan memperebutkan kursi panas untuk posisi orang paling penting di DKI Jakarta. Kala itu maraknya berita hoax yang mengudara yang bertujuan menjatuhkan masing-masing cagub, terhitung per Desember 2017 ada total 3.884 konten hoax dan ujaran kebencian yang malang melintang di berbagai media sosial saat musim kampanye ketiga calon gubernur tersebut. 

Lalu bagaimana dengan Fanatisme dalam beragama ? Sebenarnya fanatik beragama itu dianjurkan bahkan wajib hukumnya dalam beberapa ajaran. Seperti contoh dalam ajaran islam Dalam ajaran Islam, konsistensi atau dapat disebut juga dengan fanatisme adalah sebuah keharusan bagi setiap umatnya. Seorang penganut yang tidak fanatik terhadap agama islam tentu hanya akan merusak agama Islam itu sendiri. 

Pencampuran ajaran agama dengan yang lain (terutama ibadah mahdhoh) dapat berakibat ditolaknya amal perbuatan itu. Seperti misal, jika Islam mengharamkan suatu makanan kemudian kita mencoba melanggar hanya karena ajaran agama lain tidak mengharamkan, maka hal ini akan merusak nilai keimanan seseorang itu. Ketakutan-ketakutan akan adanya fanatisme terhadap agama (khususnya Islam) adalah suatu kesalahan.

Fanatisme terhadap agama Islam sesungguhnya akan melahirkan orang-orang yang berakhlak dan sopan santun. Karena ajaran agama Islam telah mengatur segala syaraf kehidupan manusia secara menyeluruh. Islam mengajarkan untuk menghormati agama lain, orang lain bahkan aturan untuk berbuat baik itu juga berlaku untuk makhluk lain termasuk binatang dan lain sebagainya. Karena sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui Al-Quran yang berbunyi:

...Sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanyai menyangkut dosa yang telah kami perbuat dan kami pun tidak akan ditanyai tentang apa yang kamu perbuat." (QS. Saba' [34]: 24-25). 

Di dalam Islam juga, orang beragama tidak boleh dipaksakan. Islam adalah agama yang demokratis karena menyadari akan adanya perbedaan itu sebagai suatu yang sifatnya alami kodratnya dari Tuhan. Itu sebabnya Islam melarang umatnya mengganggu golongan lain atau paham ajaran lain, karena mengganggu yang lain sama dengan merusak persaudaraan dan nilai kemanusiaan yang ingin dibangun dalam Islam. 

Agama Islam diturunkan sebagai agama rahmatan lilalamin, yaitu memberikan kebaikan bagi umat manusia dan seluruh dunia. Dalam konteks ini tidak ada kekhususan bahwa keberadaan Islam hanya untuk umat islam sendiri, tetapi untuk seluruh penjuru dunia. 

Jadi, apakah Fanatisme diperlukan di dunia ini ? ada baiknya kita perlu membedakan makna kata fanatisme dalam berbagai konteks. Jika berkaitan dengan agama, fanatisme hukumnya wajib. Tetapi jika dikaitkan dengan politik, paham (golongan, suku, ras dll), termasuk kebudayaan, maka fanatisme sebaiknya dihilangkan. 

Tapi tidak jarang juga dimana Fanatisme dalam beragama mengakibatkan konflik nasional, apalagi saat Agama dijadikan sebagai senjata dalam berpolitik. Fanatik terhadap agama dapat membuat seseorang merasa dialah yang benar dan pihak yang lain salah. Konflik atas dasar agama sangatlah sensitif untuk dibahas karena masing-masing pihak merasa dialah yang paling benar. 

Oleh karena itu dalam penyelesain konflik yang berlandaska agama tidak cukup hanya dengan melontarkan sumpah serapah yang tidak menghasilkan penyelesain tapi dibutuhkan suatu aksi. Karena fanatisme yang merusak adalah fanatisme yang dikaitkan dengan segala hal yang berkaitan dengan paham manusia atau hasil pola pikir manusia. 

Seperti contoh fanatisme pada partai politik jelas hanya akan merusak hubungan persaudaraan karena adanya perbedaan kepentingan. Demikian juga dengan fanatisme terhadap tokoh-tokohnya. Pada prinsipnya semua produk manusia adalah lemah dan penuh kekurangan. Oleh karena itu, seperti yang pernah diujarkan oleh dosen penulis fanatisme terhadap manusia adalah suatu kebodohan yang harus kita buang jauh-jauh dari mindset atau pola pikir kita semua. 

*Penulis adalah Mahasiswa semester 1 yang berasal ari prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun