Semasa kuliah di universitas Nanzan, saya pernah praktek di rumah jompo selama lima hari. Praktek Ini adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang berminat menjadi guru SMP-SMA di Jepang. Praktek ini oleh orang Jepang sebut kaigo jisshu.
Hari pertama kaigo jisshu, langsung akrab dengan seorang ojiisan- bapak tua. Pasalnya, ketika dia tahu asal saya dari Indonesia dia langsung menyanyikan lagu “Bengawan Solo.” Syair lagunya dia tidak hafal secara baik tetapi, melodi lagunya dia hafal begitu sempurna.
Ketika para perawat tak bisa mengaturnya untuk mengikuti ritme panti jompo, perawat-perawat akan memintaku untuk melawatinya dan kami dua selalu mendendangkan lagu Bengawan Solo.
Saya bukan orang Solo, tetapi ketika kami menyanyikan lagu itu, ada rindu akan kampung halamanku. Bagi sang ojiisan, lagu itu tentu membangkitkan hitam-putih masa lalunya. Ada air mata di sudut matanya tiap kali kami menyanyikan lagu itu.
Ketika saya tanya, bagaimana kamu bisa tahu lagu itu?
Dia bilang.
"Lagu itu ada dalam buku Kesenian saat aku Sekolah Dasar (SD)."
Lebih lanjut ojiisan itu bilang.
"Melodi Bengawan Solo enak didengar."
Lagu Bengawan Solo pernah populer di Jepang. Tahun 1947, Matsuda Toshi menerjemahkannya ke dalam bahasa Jepang.
Somerset Maugham pernah bilang.
“Seni bukan tempat pelarian. Seni harus memberi toleransi, kebijaksanaan dan kemuliaan pada manusia. Seni bukan hanya memberi kesenangan. Ia harus memberikan kekuatan baru pada manusia untuk menghadapi kejahatan dan kebusukan dunia.”
Lagu Bengawan Solo adalah satu karya seni yang bukan hanya memberikan kekuatan baru kepada manusia seperti yang dikatakan oleh Somerset Maugham, melainkan juga satu karya yang bisa mempertemukan orang dari berbagai belahan dunia. Keakraban kami di Panti Jompo Nanzan Sato terjadi berkat lagu Bengawan Solo.
Begawan Solo bagaimana wajahmu sekarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H