Mohon tunggu...
Bidan Care / Romana Tari
Bidan Care / Romana Tari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bidan Romana Tari [bidancare] Sahabat bagi perempuan dan keluarga, saling memperkaya informasi kaum perempuan dibidang kesehatan dan pengalaman sehari - hari dalam hidup,\r\n\r\nMari hidup sehat dan kreatif dalam hidup bersama bidancare

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan Gang Kelinci Joyoboyo [3]

5 Mei 2012   13:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:40 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah Reni tertahan di depan rumahnya, orang-orang yang berkerumun itu mulai menyingkir. Seseorang berbisik padanya menyampaikan berita kematian mamak. Bocah pengamen itu menangis histeris.  Dilihatnya mamak sudah terbujur kaku, ditutupi dengan kain  batik. Jenasah mamak terbaring di atas selembar tikar tua yang lusuh.

Tangan mungil Reni spontan menyingkapkan kain penutup jenasah itu. Tak seorangpun yang mampu mencegah dan menahan tangan Reni. Mereka berdiri mematung. Ketika kain itu tersingkap, terlihat oleh Reni wajah mamak yang mengerikan, berlumuran darah kering. Ada luka memar biru di pelipis dan kepala mamak.

"Mamaaaaaaaak..... jangan tinggalkan Reni mak",

Dipeluknya jenasah mamak dengan tangisan pilu. Orang- orang yang berdiri di situ hanya  bisa memandang Reni dengan iba.

Airmata bocah pengamen itu terus mengalir deras, diciuminya tangan mamak berulang-ulang. Beberapa anak angkat mamak yang lain juga duduk mengelilingi jenasah mamak, mereka menangis tersedu. Sebuah hubungan batin yang tidak bisa dijelaskan. Ada perasaan kehilangan yang menggelayut di hati anak - anak angkat mamak, terutama Reni. Karena dia adalah anak kesayangan mamak. Semua penghuni gang Kelinci tahu tentang hal ini.

Memang mamak bukanlah orang tua kandung mereka. Tetapi sejak kecil mereka tidak mengenal orang tua lain selain mamak. Betapapun buruknya sifat mamak dan perlakuan kasar yang mereka terima selama ini dari sang mamak. Namun mereka merasa di lindungi. Anak -anak itu masih bersyukur ada orang seperti mamak yang mau memperhatikan hidup mereka. Memberi makan, menyediakan tempat tinggal dan membiayai sekolah mereka kendati hanya sampai sekolah dasar.

Lodi pun yang terkenal tegar, menangis terisak-isak di hadapan jenasah mamak Reni. Dia merasa berhutang budi banyak pada mamak. Bahkan gitar kecil Lodi adalah pemberian mamak juga. Dengan airmata bercucuran Lodi menuangkan uang recehan hasil mengamennya di hadapan jenasah mamak yang sudah terbujur kaku.

"Mamaaaak, bangun mak... jangan tinggalkan kami, mamak lihat ini mak...kami tadi berhasil mengumpulkan uang mengamen banyak sekali untuk mamak, bangun maaaak", teriak Lodi pilu. Tangis Lodi pecah. Ini pertamakali Lodi menangis di hadapan banyak orang. Dengan terisak-isak Lodi menangkupkan kedua tangannya dan menunjukkan uang hasil mengamennya bersama Reni. Beberapa penghuni gang Kelinci itu tak kuasa menahan airmata karena terharu.

"Sabar ya nak, ikhlas kan kepergian mamak", kata Minah. Seorang tetangga mendekati Lodi dan Reni.

***

Malam ini Reni duduk menangis terisak - isak di atas kotak kayu. Dalam kepiluan hatinya, Reni bertanya -tanya, siapakah orang yang telah tega membunuh mamak?

Kesalahan apa yang telah mamak lakukan sehingga dibunuh dengan tragis. Reni masih belum bisa menerima peristiwa kematian mamak yang tidak wajar. Selama ini almarhum yang bernama asli Zubaida itu, memang mempekerjakan anak -anak untuk mengamen dan mengemis di terminal. Tetapi mamak jugalah yang memperhatikan segala kebutuhan anak-anak itu, sejak dulu dia adalah satu-satunya orang tua di mata Reni dan anak-anak angkat mamak.

Besok tak akan ada lagi yang memarahi Lodi dan Reni jika hasil mengamen sedikit. Tidak ada lagi yang menjambak rambut  panjang Reni jika ia  membolos sekolah. Dan mamak tidak akan pernah bisa lagi menghembuskan asap rokok di wajah Reni, jika ia bangun kesiangan.

***

Masih terekam jelas dalam ingatan Reni, sepenggal kenangan terakhirnya bersama mamak sebulan lalu sebelum meninggal.

Hari Minggu  mamak mengajaknya ke pasar Wonokromo untuk membelikan sandal baru. Sandal Reni sudah lama rusak. Berkali-kali mamak menjanjikan untuk membeli, tapi selalu saja mengatakan belum sempat

"Reniiiiiii....!" teriak mamak dari kamarnya.

"Iya mak,ada apa?", Sahut Reni.  Tangannya sambil menyelesaikan mencuci beras.

"Hari ini kamu tidak usah mengamen bersama Lodi, kita ke pasar"

"Sungguh mak?", tanya Reni tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.

"Ya, kamu tidak usah banyak tanya, nanti kita beli sandal baru untukmu"

"Asyiiiik, terimakasih ya mak", Reni melompat kegirangan.

Mamak tidak menjawab, bibirnya mencibir pada Reni. Reni tidak peduli dengan ekspresi wajah mamak, yang penting dia akan mendapat sandal baru itu saja. Selama ini dia meminjam sandal Lodi untuk ke mana-mana, ukurannya terlalu besar untuk kaki Reni. Tetapi itu lebih baik daripada tidak memakai alas kaki sama sekali.

Mamak dan Reni berjalan beriringan ke pasar Wonokromo. Di depan sebuah toko pakaian, mamak berhenti. Pembeli di toko itu sangat ramai. Reni tidak mengerti mengapa mamak malah berhenti di toko pakaian dan bukan toko sandal. Tapi dia tidak berani bertanya. Mamak pernah bilang, dia paling tidak suka anak kecil banyak tanya.

Sementara  Reni sedang menduga-duga ada perlu apa mamak berhenti di sini. Tiba-tiba dilihatnya mamak merogoh saku bajunya dan  mengeluarkan  cutter kecil. Dengan cekatan tangannya menyilet tas seorang pembeli yang sedang asyik bebelanja dan memilih-milih pakaian. Gerakan mamak sangat cepat, dan gesit. Dalam sekejap dompet dari dalam tas itu sudah berpindah di saku baju mamak Mata Reni terbelalak menyaksikan semua itu.

Belum habis rasa terkejut Reni, tiba-tiba saja dompet itu sudah berpindah ke tangannya. Mamak memberi isyarat agar Reni memasukkan dompet itu ke dalam kausnya dan segera lari menjauh keluar dari pasar. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir apalagi bertanya. Dengan nafas tersengal-sengal dia berlari secepatnya ke arah pintu keluar pasar. Lututnya gemetaran, keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Wajahnya pucat pasi.

Jantung Reni berdegup kencang. Akhirnya Reni terduduk lemas di pojok pintu gerbang pasar Wonokromo. Dengan susah payah dia berusaha mengatur nafas. Belum ada sepuluh menit berselang, mamak muncul dari belakang Reni. Sambil menepuk pipi Reni yang tirus, mamak bergumam,

"Anak pintar, mamak senang"

Dia tidak mengertti maksud kata-kata mamak. Hati kanak-kanaknya yang polos dan lugu itu kini sedang mengalami perang batin. Tentang sebuah tindak kejahatan yang melibatkan dirinya. Itulah kenangan terakhirnya bersama mamak, sebelum mamak meninggal secara tragis.

***

Waktu terus bergulir. Tanpa terasa hampir sebulan sejak mamak  meninggal, Reni hidup sendirian di rumah petak yang sempit dan kumuh itu. Beruntung dia sudah menyelesaikan sekolah dasar sebelum mamak meninggal. Jika belum lulus, alangkah bingungnya Reni. Tidak tahu bagaimana caranya dia harus membiayai sekolah. Sekarang ini Reni benar-benar hidup sebatang kara. Biaya hidupnya sehari-hari hanya mengandalkan hasil dari mengamen bersama Lodi. Padahal itu pun kadang tak cukup.

Hingga pada suatu hari ada tawaran dari bik Yah, penjual soto Lamongan di pojok terminal Joyoboyo. Bik Yah mengenal Reni sudah lama. Karena Reni dan Lodi sering ngobrol  di bawah pohon Jambu di samping warungnya seusai mengamen. Sering mereka berdua di beri es teh gratis oleh bik Yah.

" Ning Reni, kamu mau bantu - bantu cuci piring di warungku tah ? nanti ada bayarannya", tanya bik Yah.

"Mau saja bik", jawab Reni.

"Kebetulan sekali, aku lagi butuh pembantu untuk di warungku. Jadi besok pagi kamu mulai masuk ya"

"Ya bik, terimakasih"

"Oya, kamu boleh makan pagi dan siang di warungku, tugasmu selain cuci piring, juga membantu melayani pembeli dan menyapu warung. Itu saja tugasmu", tambah bik Yah lagi sambil tersenyum lega.

Sejak kemarin di kebingungan mencari pengganti. Partiyem pembantunya yang lama pulang kampung ke Madiun. Bapaknya sakit keras.

Reni sangat gembira mendapat pekerjaan di warung bik Yah. Berita ini segera di sampaikan pada sahabatnya Lodi.

"Aku punya berita bagus untukmu  Lodi"

"Apa itu", tanya Lodi. Ia penasaran.

"Mulai besok aku kerja di warung  soto bik Yah"

"Wah, beruntung sekali kamu Ren, tapi bukannya sudah ada mbak Partiyem?"

"Ya, dia sudah pulang kampung, tidak kembali lagi, katanya sih bapaknya sakit keras"

"Ya, selamat buatmu ya Ren,...sttt aku  bakal andok soto gratis  rek! he he he", kata Lodi bergurau.

"Ya, tetap bayar seh, kan pemilik warungnya bik Yah, tapi jangan kuatir aku tak akan mungkin tega makan sendirian", jawab Reni.

Sebenarnya Lodi agak heran ketika mendengar penjelasan Reni, bahwa mbak Partiyem pulang kampung ke Madiun.

Bukankah kemarin dia melihat  pembantunya bik Yah itu pergi bersama Ucik, gadis bertato kupu-kupu itu. Tapi ya sudahlah pikir Lodi, tak ada gunanya juga memberi tahu Reni tentang hal ini. Yang penting sahabatnya itu merasa senang dengan pekerjaan barunya.

BERSAMBUNG

( Romana Tari )

Kisah sebelumnya: http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/05/05/perempuan-gang-kelinci-joyoboyo-2/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun