Mamak tidak menjawab, bibirnya mencibir pada Reni. Reni tidak peduli dengan ekspresi wajah mamak, yang penting dia akan mendapat sandal baru itu saja. Selama ini dia meminjam sandal Lodi untuk ke mana-mana, ukurannya terlalu besar untuk kaki Reni. Tetapi itu lebih baik daripada tidak memakai alas kaki sama sekali.
Mamak dan Reni berjalan beriringan ke pasar Wonokromo. Di depan sebuah toko pakaian, mamak berhenti. Pembeli di toko itu sangat ramai. Reni tidak mengerti mengapa mamak malah berhenti di toko pakaian dan bukan toko sandal. Tapi dia tidak berani bertanya. Mamak pernah bilang, dia paling tidak suka anak kecil banyak tanya.
Sementara Reni sedang menduga-duga ada perlu apa mamak berhenti di sini. Tiba-tiba dilihatnya mamak merogoh saku bajunya dan mengeluarkan cutter kecil. Dengan cekatan tangannya menyilet tas seorang pembeli yang sedang asyik bebelanja dan memilih-milih pakaian. Gerakan mamak sangat cepat, dan gesit. Dalam sekejap dompet dari dalam tas itu sudah berpindah di saku baju mamak Mata Reni terbelalak menyaksikan semua itu.
Belum habis rasa terkejut Reni, tiba-tiba saja dompet itu sudah berpindah ke tangannya. Mamak memberi isyarat agar Reni memasukkan dompet itu ke dalam kausnya dan segera lari menjauh keluar dari pasar. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir apalagi bertanya. Dengan nafas tersengal-sengal dia berlari secepatnya ke arah pintu keluar pasar. Lututnya gemetaran, keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Wajahnya pucat pasi.
Jantung Reni berdegup kencang. Akhirnya Reni terduduk lemas di pojok pintu gerbang pasar Wonokromo. Dengan susah payah dia berusaha mengatur nafas. Belum ada sepuluh menit berselang, mamak muncul dari belakang Reni. Sambil menepuk pipi Reni yang tirus, mamak bergumam,
"Anak pintar, mamak senang"
Dia tidak mengertti maksud kata-kata mamak. Hati kanak-kanaknya yang polos dan lugu itu kini sedang mengalami perang batin. Tentang sebuah tindak kejahatan yang melibatkan dirinya. Itulah kenangan terakhirnya bersama mamak, sebelum mamak meninggal secara tragis.
***
Waktu terus bergulir. Tanpa terasa hampir sebulan sejak mamak meninggal, Reni hidup sendirian di rumah petak yang sempit dan kumuh itu. Beruntung dia sudah menyelesaikan sekolah dasar sebelum mamak meninggal. Jika belum lulus, alangkah bingungnya Reni. Tidak tahu bagaimana caranya dia harus membiayai sekolah. Sekarang ini Reni benar-benar hidup sebatang kara. Biaya hidupnya sehari-hari hanya mengandalkan hasil dari mengamen bersama Lodi. Padahal itu pun kadang tak cukup.
Hingga pada suatu hari ada tawaran dari bik Yah, penjual soto Lamongan di pojok terminal Joyoboyo. Bik Yah mengenal Reni sudah lama. Karena Reni dan Lodi sering ngobrol di bawah pohon Jambu di samping warungnya seusai mengamen. Sering mereka berdua di beri es teh gratis oleh bik Yah.
" Ning Reni, kamu mau bantu - bantu cuci piring di warungku tah ? nanti ada bayarannya", tanya bik Yah.