Mohon tunggu...
Bidan Care / Romana Tari
Bidan Care / Romana Tari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bidan Romana Tari [bidancare] Sahabat bagi perempuan dan keluarga, saling memperkaya informasi kaum perempuan dibidang kesehatan dan pengalaman sehari - hari dalam hidup,\r\n\r\nMari hidup sehat dan kreatif dalam hidup bersama bidancare

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[MISTERI] Bidan Desa

25 Februari 2012   11:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:32 7727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Bu Bidaaaan!....bu Bidaaaaan!, buka pintunya, tolong ada yang mau melahirkan"

Terdengar orang berteriak- teriak dari depan pagar klinik Polindesnya.

"Tengah malam begini siapa yang teriak - teriak depan pintu pagar ya?" kata bidan Yani saat terbangun.

Diintipnya dari balik tirai jendela klinik. Terlihat  seorang bapak tua berikat kepala batik dan berbaju Surjan garis- garis coklat, khas orang jawa kuno. Bapak itu tidak turun dari atas dokar.

"Ada apa bapak?" tanya bidan Yani.

" Bu Bidan tolong, anak saya mau melahirkan sekarang sudah tidak kuat lagi mau di bawa ke klinik" sahut bapak itu.

" Baik pak, sebentar saya siapkan dulu semua alatnya" jawab bidan Yani.

Saat akan menutup pintu kliniknya, ia sempat cemas juga. Wah jangan - jangan aku dikerjain oleh mahluk halus seperti yang pernah dialami bidan Intan yang pernah bertugas di sini sebelumnya. Intan pernah dipanggil menolong melahirkan tetapi dia tidak pernah melihat pasien itu sesudahnya, penduduk desa juga tidak mengenal tempat yang disebutkan Intan. Tapi ya sudahlah, aku berniat menolong, siapapun itu aku tidak berbuat jahat pikir bidan Yani.

Sepanjang perjalanan pak Tua itu tidak banyak bicara, ia sibuk  mengendalikan kuda yang menarik dokar. Bidan Yani mencoba membuka percakapan.

" Pak, rumahnya jauh tidak?"

"Tidak bu bidan, sebentar lagi juga sampai. Maaf mengganggu bu bidan tengah malam"

Yani memperhatikan pak Tua itu dengan seksama. Tampaknya ia sudah tua sekali tapi masih gesit mengendalikan kuda penarik dokar. Suasana sepanjang jalan pedesaan itu sunyi senyap. Makin lama jalan yang mereka lalui sepi dan gelap, melewati semak belukar.

" Wah agak ke pelosok ya pak?" tanya Yani lagi. Ia bukan takut tapi berpikir kasihan ibu yang akan melahirkan bila terlalu lama menunggunya.

" Itu sudah kelihatan rumahnya bu Bidan, maaf kami memang tinggal di ujung desa" jawab pak Tua tadi.

Lega hati Yani. Ia melihat sebuah rumah yang lumayan terang dengan cahaya lampu petromaks. Tiba- tiba dokar itu berhenti di tikungan persis dibawah rerimbunan tanaman bambu.

" Bu bidan, turun di sini saja, kita jalan kaki karena harus melewati  jembatan parit kecil dan dokar ini tidak bisa masuk" kata pak Tua tadi sambil mengikat tali kuda ke sebuah pohon beringin tak jauh dari situ.

"Ya pak, tidak apa - apa" kata bidan Yani.

Dengan sigap ia turun dari dokar dan menjinjing tas perlengkapan melahirkan.

"Silahkan duluan bu Bidan, saya mau masukkan kuda ke kandang. Itu sudah ditunggu anak saya  dan nenek paraji yang tadi menolong melahirkan tapi tidak berhasil" kata pak Tua itu.

Meskipun penuh tanda tanya dalam hati bidan Yani, ia sama sekali tidak takut hantu. Ia segera masuk ke dalam dan dilihatnya seorang paraji tua sedang menunggu di samping ibu yang akan bersalin itu.Pakaiannya serba hitam. Bibirnya semerah darah dengan segumpal sirih pinang  terganjal di sudut mulut. Nenek  dukun beranak  itu tampaknya sangat sabar memijati si ibu.

Bidan Yani menatap wajah si ibu yang akan melahirkan. Sepertinya ia tidak pernah melihat ibu ini datang periksa dan ia sendiri baru seminggu lalu pindah ke desa ini menggantikan Intan. Wajah ibu yang hamil itu pucat pasi dan rambutnya berantakan, sepertinya ia sudah dari tadi kesakitan. Bau amis darah memenuhi seluruh bilik kamar itu. Belum lagi ada  bau asap kemenyan sejak ia masuk rumah tadi.

" Syukur nak bidan sudah datang, ayo nduk  semangat, ini bu bidan sudah datang" kata si nenek Paraji itu.

Tak berapa lama kemudian lahirlah si bayi dan ibunya terlihat sangat bahagia meskipun lelah. Bayi itu laki - laki dan sehat sekali, tangisnya melengking keras memecah kesunyian malam.  Bidan Yani memeriksa bayi itu kemudian memberikan pada ibu yang bersalin itu untuk disusui langsung.

" Syukurlah nek, tidak ada luka sama sekali, jadi tidak perlu dijahit" kata Bidan Yani pada sang nenek.

Ia menyalami si ibu dan nenek tersebut.

"Bu bidan ini ada sedikit minuman hangat kopi dan ubi goreng silahkan dicicip" kata sang nenek .

Bidan Yani masih ragu - ragu, dimakan apa tidak ya, nanti kalau tidak dimakan tersinggung, tapi kalau kumakan....jangan - jangan ..ah.....pikiranku saja yang negatif. Ia meneguk sedikit kopi hangat itu. Lumayan mengusir hawa dingin.

" Oya, mana suamimu Surti, bu bidan mungkin sudah mengantuk....?" tanya nenek paraji itu pada Surti.

Tidak sampai selesai nenek tersebut bicara, suami Surti datang. Tergopoh gopoh ia memanggil nenek paraji , belum sempat masuk ke dalam bilik,  ia sudah berteriak panik.

" Nenek, bu bidan tidak ada di rumah, semua pintu dan jendela sudah ku ketuk- ketuk sepi. Kata salah satu warga ada yang memanggil bu bidan melahirkan, entah dimana" Gatot suami Surti mengusap wajahnya yang basah kuyub karena keringat.

" Le, anakmu sudah lahir, lha itu bu Bidan ada di dalam" sahut nenek Paraji itu terheran- heran. Disangkanya tadi Bidan Yani datang dijemput suami Surti.

" Oh syukurlah, lho bu bidan tadi ke sini dengan siapa?" tanya Gatot tak kalah heran dengan nenek Paraji itu. Ia segera masuk ke dalam bilik dan mencium istri dan bayinya.

Bidan Yani mulai maklum dengan situasi itu. Ia tidak mau banyak berkata, hanya tersenyum dan mengatakan sang nenek bahwa ada warga yang kebetulan tahu nenek paraji menolong melahirkan di sini dan memanggilnya untuk membantu. Padahal dalam hatinya ia juga heran, siapa pak tua tadi yang mengaku Ayah Surti.

Bidan Yani segera pamitan dan diantar pulang oleh Gatot dengan naik dokar juga, tetapi jalan yang mereka lalui tidak sama dengan jalan yang tadi dia lalui bersama pak Tua. Ternyata butuh waktu hampir  setengah jam lebih meskipun kudanya sangat cepat dan gesit. Padahal tadi ia hanya beberapa menit saja dan jalannya agak gelap bukan jalan desa yang sudah ada penerangan di kanan kiri seperti ini.

Entahlah Yani hanya diam saja tidak mau bercerita banyak pada suami Surti. Ia tiba di kliniknya dan segera istirahat. Berharap ini hanya sebuah mimpi seorang bidan desa sepertinya. Ayam jantan berkokok  tiga kali, bidan Yani melirik jam di dinding klinik. Pukul 03;00 wib dini hari.

SALAM FIKSI

Bidan Romana Tari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun