Yani memperhatikan pak Tua itu dengan seksama. Tampaknya ia sudah tua sekali tapi masih gesit mengendalikan kuda penarik dokar. Suasana sepanjang jalan pedesaan itu sunyi senyap. Makin lama jalan yang mereka lalui sepi dan gelap, melewati semak belukar.
" Wah agak ke pelosok ya pak?" tanya Yani lagi. Ia bukan takut tapi berpikir kasihan ibu yang akan melahirkan bila terlalu lama menunggunya.
" Itu sudah kelihatan rumahnya bu Bidan, maaf kami memang tinggal di ujung desa" jawab pak Tua tadi.
Lega hati Yani. Ia melihat sebuah rumah yang lumayan terang dengan cahaya lampu petromaks. Tiba- tiba dokar itu berhenti di tikungan persis dibawah rerimbunan tanaman bambu.
" Bu bidan, turun di sini saja, kita jalan kaki karena harus melewati jembatan parit kecil dan dokar ini tidak bisa masuk" kata pak Tua tadi sambil mengikat tali kuda ke sebuah pohon beringin tak jauh dari situ.
"Ya pak, tidak apa - apa" kata bidan Yani.
Dengan sigap ia turun dari dokar dan menjinjing tas perlengkapan melahirkan.
"Silahkan duluan bu Bidan, saya mau masukkan kuda ke kandang. Itu sudah ditunggu anak saya dan nenek paraji yang tadi menolong melahirkan tapi tidak berhasil" kata pak Tua itu.
Meskipun penuh tanda tanya dalam hati bidan Yani, ia sama sekali tidak takut hantu. Ia segera masuk ke dalam dan dilihatnya seorang paraji tua sedang menunggu di samping ibu yang akan bersalin itu.Pakaiannya serba hitam. Bibirnya semerah darah dengan segumpal sirih pinang terganjal di sudut mulut. Nenek dukun beranak itu tampaknya sangat sabar memijati si ibu.
Bidan Yani menatap wajah si ibu yang akan melahirkan. Sepertinya ia tidak pernah melihat ibu ini datang periksa dan ia sendiri baru seminggu lalu pindah ke desa ini menggantikan Intan. Wajah ibu yang hamil itu pucat pasi dan rambutnya berantakan, sepertinya ia sudah dari tadi kesakitan. Bau amis darah memenuhi seluruh bilik kamar itu. Belum lagi ada bau asap kemenyan sejak ia masuk rumah tadi.
" Syukur nak bidan sudah datang, ayo nduk semangat, ini bu bidan sudah datang" kata si nenek Paraji itu.