"Kalau Tuhan ternyata menjodohkanmu denganku bagaimana?"
"Kalau memang seperti itu, semoga kita berdua sudah dalam kondisi saling menerima dan berkompromi satu sama lain. Tidak ada paksaan. Entah itu kapan. Tapi aku yakin bukan saat ini. dan kalau pun ternyata kita tidak berjodoh, aku mohon jangan kau paksakan. Kita tidak akan pernah baik-baik saja, seperti sekarang. Dan aku tak mau berlarut selamanya. Setidaknya ijinkan aku merasakan bahagia yang sesungguhnya."
Dua kali aku menamparnya dengan kalimatku. Terlihat dari ekspresinya. Seperti tak ada lagi harapan, ia bangkit berdiri dari duduknya.
"Kopimu tidak diminum dulu?" tanyaku.
"Tidak. Sudah dingin." Ia berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman rumah. Entah kenapa rasanya lega sekali. Akhirnya semua bisa kusampaikan. Aku tak mengharapkan ia memahami perasaanku. Setidaknya ia tahu, dan itu sudah cukup.
Tiba-tiba ia berhenti di depan pintu mobil yang sudah terbuka.
"Oh ya, soal kopi. Kenapa hari ini kau hanya membuat secangkir kopi? Sedangkan kau minum cokelat hangat?"
"Sebenarnya aku tidak bisa minum kopi. Setiap kali aku meminumnya, perutku selalu sakit. Tapi aku sangat menyukai aromanya. Jadi kupikir tak masalah, tapi ternyata malah semakin sakit. Sesuatu yang dipaksakan memang tak pernah baik, bukan?"
"Jadi aku seperti kopi?" tanyanya dengan tersenyum simpul kepadaku. Belum sempat kujawab, ia sudah melanjutkan lagi ucapannya, "Kalau begitu aku pamit."
Aku hanya menjawab dengan anggukan.
"Jika nanti kau bersama yang lain dan tidak lebih bahagia daripada denganku. Maka aku akan datang lagi."