Ia tak bergeming. Tunggu sebentar. Apakah aku terlalu jujur? Bukankah aku takut menyakitinya? Ah sudahlah, sudah terlanjur dan biarkan ia mengetahui sebenar-benarnya perasaanku.
"Saat itu tentu saja aku menuruti keinginanmu. Ancamanmu selalu berhasil membuatku takut kehilanganmu. Dan kau tahu itu. Kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu."
"Kalau kau sangat mencintaiku, lalu kenapa kau tetap pergi? Aku janji akan berubah dan tak akan melarangmu lagi."
Aku tersenyum mendengar janjinya. Janji yang pernah kudengar beberapa kali di masa lalu, namun tak pernah ditepati.
"Aku bisa memaklumi laranganmu. Aku juga bisa menerima ancamanmu. Tapi tentang kebiasaanmu yang tidak pernah cukup dengan satu wanita, maaf ternyata hatiku tidak selapang itu untuk bertahan."
Ada jeda diam diantara kami. Sepertinya kalimatku cukup berhasil menampar dirinya secara tidak langsung.
"Soal menjadi dirimu. Caramu berbicara sekarang, sama seperti dulu, sebelum kau menjadi milikku. Sosok yang membuatku tertarik dan penasaran untuk bisa kumiliki," terangnya sambil mengusap puncak kepalaku dengan halus. Ia tersenyum. Sedangkan aku terkejut dibuatnya.
"Sepertinya aku memang benar-benar menyakitimu, sampai kau tak ingin kembali padaku," sambungnya.
Kali ini aku yang menatapnya dalam. Kulihat ada penyesalan. Hatiku mulai goyah.
Haruskah kuberikan kesempatan lagi?
Aku selalu mengkhawatirkan hal ini. Alasanku tidak pernah mau bertemu dengannya setelah berpisah adalah karena takut akan kembali luluh.