Ketetapan pemerintah terkait penyelenggaraan Pilkada 2020 merupakan bentuk inkonsistensi pemerintah dalam mengambil kebijakan, di saat rakyat diatur untuk tidak melakukan kegiatan berkerumun justru pemerintah menyelenggarakan Pilkada yang tentu tidak luput dari kerumunan. Bahkan pemerintah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, yakni Pasal 59 Undang-Undang Karantina Kesehatan. Dalam pasal itu dijabarkan tentang PSBB. Tujuan PSBB untuk mencegah Covid-19 menyebar secara luas.
Berbagai elemen masyarakat dan kalangan ormas seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah dengan tegas mendesak pemerintah untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dengan alasan mengutamakan keselamatan masyarakat, namun pemerintah tidak peduli dengan desakan tersebut. Melihat dua ormas yang memiliki pengaruh besar di Indonesia – ditambah dengan banyaknya elemen masyarakat yang menginginkan ditundanya pelaksanaan Pilkada 2020 – diabaikan oleh pemerintah, lantas bagaimana jika rakyat banyak yang enggan hadir ke TPS untuk memilih sehingga pastisipasi masyarakat di bawah 50 persen dalam Pilkada? Tentu Pilkada tidak legitimate. Apalagi tidak terlihat langkah terbaik pemerintah untuk menjamin masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu 2020 ini.
Atas sikap pemerintah yang ngotot untuk melaksanakan Pilkada 2020 menjadi hal wajar jika masyarakat mencurigai pemerintah dan mengaitkannya dengan politik dinasti. Banyaknya kerabat pemerintah pusat yang maju pada Pilkada 2020 berpotensi menang karena mendapat dukungan mayoritas partai, misalnya Gibran Rakabuming yang didukung 8 partai; Bobby Afif Nasution didukung 8 partai; Rahayu Saraswati Djojohadikusumo didukung 5 partai. Bahkan terdapat calon yang melawan kotak kosong, misalnya Hanindhito Himawan Pramono, calon Bupati Kediri, yang merupakan putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung; Ony Anwar Harsono, calon Bupati Ngawi, yang merupakan anak mantan Bupati Ngawi periode 1999-2010. Dalam hal ini rakyat sudah sepatutnya mengkritisi dan mencurigai setiap kebijakan pemerintah karena cenderung mengarah kepada terciptanya oligarki politik, kekuasaan ada pada segilintir orang. Hal ini tidak dapat dibiarkan. Mengutip pernyataan Leslei Lipson, bahwa ketika terjadi oligarki politik, dan kekuasaan ada pada segelintir orang saja maka hak-hak rakyat yang dapat terjamin hanya segelintir juga.
Pilkada di Indonesia dan Pemilu di Amerika tentu berbeda. Warga Indonesia bersikap skeptis terhadap pemerintah karena dianggap memiliki tujuan tertentu dalam pelaksanaan Pilkada 2020. Sementara warga Amerika menjadikan Pemilu 2020 sebagai momentum perlawanan rakyat atas sikap remeh dan kegagalan Donald Trump dalam menangani pandemi Covid-19. Dengan dilaksanakannya Pemilu 2020 warga Amerika berharap menjadi masa transisi menuju kondisi yang lebih baik di negaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H