Seperti halnya di Indonesia, pemerintah Amerika lamban dalam menyikapi wabah Covid-19. Sejak awal merebaknya Covid-19, Donald Trump menganggap remeh virus ini. Bahkan pada 28 Februari 2020, Trump menyatakan bahwa Covid-19 akan hilang seperti Mukjizat, dengan spekulasi bahwa cuaca panas akan mampu mambunuh virus ini. Namun pada akhirnya Trump sadar spekulasinya salah, sehingga pada 16 Maret 2020 baru menunjukkan upaya serius untuk menghadapi pandemi Covid-19. Trump kemudian menjalin hubungan bilateral dengan Cina dan bahkan membicarakannya secara langsung melalui telepon dengan Presiden Cina, Xi Jinping untuk menangani Covid-19.
Sikap Trump terhadap Covid-19 memunculkan berbagai tanggapan. Sekelompok ahli epidemiologi Imperial College London telah memaparkan studi tentang proyeksi penyebaran Covid-19 di Amerika. Para ahli itu memprediksi Covid-19 dapat dengan cepat membunuh hingga 2,2 juta orang jika pemerintah Amerika tidak segera mengambil langkah serius untuk melawan Covid-19. Namun, Trump menyebut studi para ahli itu sebagai hoaks baru. Pemerintah negara bagian juga merespon sikap Trump dengan mengatakan bahwa Amerika tidak memiliki prosedur resmi dalam menghadapi Covid-19 yang bisa diterapkan hingga ke berbagai negara bagian.
Pilkada Indonesia dan Pemilu Amerika
Di tengah semakin meningkatnya penularan Covid-19, Indonesia tetap pada keputusannya untuk melaksanakan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Pilkada di tengah pandemi ini disambut berbagai kritik karena memunculkan kebingangan di kalangan masyarakat. Di satu sisi pemerintah melarang kegiatan yang mengandung kerumunan, namun di sisi lain tetap akan melaksanakan Pilkada yang sulit untuk terhindar dari kerumunan orang. Masyarakat dan kalangan ormas justru mendesak pemerintah untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dan fokus untuk menangani Covid-19. Namun pemerintah menegaskan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 akan tetap digelar.
Sikap pemerintah Indonesia yang bersikeras untuk melaksanakan Pilkada serentak 2020 menimbulkan spekulasi masyarakat terkait kepentingan dinasti politik elite pemerintah, mengingat banyak kandidat kepala daerah yang berstatus sebagai kerabat dekat pejabat pemerintah pusat maupun daerah, misalnya Gibran Rakabuming Raka, calon wali kota Solo, yang merupakan putra Presiden Jokowi; Bobby Nasution, calon wali kota Medan, menantu Jokowi; Siti Nur Azizah, calon wali kota Tangerang Selatan, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin; Rahayu Saraswati, calon wakil wali kota Tangerang Selatan, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto; Pilar Saga Ichsan, calon wakil wali kota Tangerang Selatan, putra Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah.
Momentum Pilkada 2020 di Indonesia menjadi sorotan publik bukan hanya pelaksanaannya di masa pandemi Covid-19, namun penilaian masyarakat bahwa ada kepentingan elite pemerintah seperti gayung bersambut jika didasarkan pada temuan Nagara Institute, di mana terdapat 124 kandidat kepala daerah yang terafiliasi dengan dinasti politik dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, yakni terdiri dari 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan 8 calon wakil wali kota, serta 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur. Nagara Institute juga mengklasifikasikan calon kepala daerah yang terafiliasi dengan dinasti politik berdasarkan gender, yakni terdapat 67 kandidat laki-laki dan 57 kandidat perempuan. Dari 57 kandidat perempuan tersebut sebanyak 29 orang merupakan istri dari kepala daerah sebelumnya.
Pilkada di Indonesia yang akan tetap digelar meski di tengah pandemi sering dikaitkan dengan negara-negara lain yang tetap melaksanakan Pemilu, khususnya Amerika karena merupakan negara terdampak Covid-19 tertinggi di dunia. Namun Pemilu di Amerika berbeda dengan Indonesia. Walaupun Pemilu di Amerika dijadwalkan pada 3 November 2020, tapi rakyat Amerika dapat memberikan suara sebelum tanggal yang ditentukan, baik secara langsung atau melalui pos. Pemungutan suara yang dapat dilakukan lebih awal diberlakukan untuk seluruh 50 negara bagian. Dengan sistem yang diterapkan tersebut, partisipasi pemilih dalam Pemilu Amerika 2020 mengalami peningkatan yang drastis. Per 30 Oktober 2020 telah tercatat sekitar 85 juta jiwa yang telah memberikan suara lebih awal pada Pemilu 2020 di Amerika, baik secara langsung atau melalui pos. Jumlah pemilih awal sudah mencapai 62% dari total jumlah pemilih pada Pemilu 2016, dengan jumlah pemilih awal sekitar 47 juta jiwa.
Analisis dan Kesimpulan
Pilkada di Indonesia dan Pemilu di Amerika memang sama-sama dilaksanakan pada masa pandemi Covid-19, namun terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak bisa dijadikan acuan pemerintah Indonesia dalam Pemilu di Amerika. Walaupun berstatus negara paling tinggi terdampak pandemi, namun Amerika lebih siap dalam menyelenggarakan Pemilu di masa pandemi. Amerika telah mengatur sistem dalam Pemilu untuk mengantisispasi dan tetap bisa mengendalikan penyebaran Covid-19. Antisipasi yang dilakukan Amerika adalah dengan memberikan opsi-opsi kepada pemilih. Warga Amerika di seluruh negara bagian dapat memilih dengan dua cara, yaitu secara langsung atau melalui pos. Warga yang akan memilih langsung akan hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada 3 November 2020, sementara pemilih tidak langsung (voting by mail) dikirimkan surat suara ke kediaman masing-masing, kemudian setelah memilih surat suara dikirim melalui pos maksimal pada 3 November 2020. Warga juga diperbolehkan untuk memilih Presiden Amerika sebelum hari pemilihan yang telah ditentukan (3 November 2020), karena itu banyak kalangan, khususnya pemuda, di berbagai negara bagian yang telah memilih sejak Oktober 2020. Dengan sistem ini telah meningkatkan jumlah partisipasi pemilih awal dibandingkan pada Pemilu 2016. Jadi, warga Amerika tidak khawatir dengan potensi peningkatan kasus Covid-19.
Adapun di Indonesia, tidak ada sistem baru untuk mengantisipasi gejolak peningkatan kasus Covid-19 yang diterapkan oleh pemerintah, selain hanya mematuhi protokol kesehatan. Padahal, hingga saat ini, khususnya di pedesaan banyak sekali masyarakat yang belum percaya adanya Covid-19 – misalnya di Bogor, yang menurut survei Dinas Kesehatan Bogor hanya 15 persen masyarakat yang percaya adanya Covid-19 – sehingga protokol kesehatan akan sangat mudah dilanggar. Buktinya, pada saat proses pendaftaran, didapati 316 bakal pasangan calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan. Jika bakal calon kepala daerah saja banyak yang berani melanggar apalagi rakyat. Jumlah pasangan bakal calon yang tercatat sebanyak 678, sementara yang melanggar sebanyak 316 bakal calon, itu menunjukkan hampir 50 persen sudah melanggar. Tidak hanya itu, pelanggaran itu terjadi di 243 daerah, sementara Pilkada dilaksanakan di 270 wilayah seluruh Indonesia, itu berarti pelanggaran terjadi di 90 persen daerah penyelenggara Pilkada serentak. Dapat dibayangkan jika dari 100.359.152 pemilih tetap sebanyak 50 persen pemilih melanggar atau sebanyak 90 persen daerah terjadi pelanggaran protokol kesehatan seperti proses pendaftaran bakal calon, itu berarti menimbulkan potensi yang sangat besar peningkatan kasus Covid-19, dan tentu mengancam keselamatan masyarakat.
Pemerintah Indonesia juga mengaharuskan pasangan calon menandatangani pakta integritas kepatuhan terhadap protokol kesehatan, namun justru itu bisa menambah timbulnya dinamika buruk di kalangan pasangan calon. Bukan tidak mungkin jika antar pasangan calon justru akan saling berupaya menjatuhkan dengan adanya pakta integritas dan ketentuan pemberian sanksi kepada calon yang melanggar protokol kesehatan.