Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dua metode utama, yaitu wawancara langsung dan penelitian pustaka. Wawancara dilakukan dengan Pak Sunardi, yang akrab di panggil Pak Baron seorang pengrajin Wayang Kulit generasi kelima dari Dukuh Butuh, untuk memperoleh perspektif historis serta pemahaman mendalam tentang tantangan dan strategi pelestarian seni tradisional tersebut. Selain itu, penelitian pustaka yang mengacu pada literatur seperti potensi industri kreatif Wayang Kulit digunakan untuk memperkuat analisis mengenai pentingnya seni tradisional sebagai bagian integral dari ekonomi kreatif.
Pembahasan
Wayang kulit, salah satu mahakarya budaya Indonesia, sedang menghadapi tantangan besar di era modern. Namun, di Desa Dukuh Butuh, Klaten, wayang kulit justru menjadi sumber inspirasi, inovasi, dan kebanggaan. Bertemu dengan Pak Sunardi, yang akrab dipanggil Pak Baron, seorang pengrajin wayang kulit generasi kelima dari desa ini, membuka pandangan baru tentang pentingnya menjaga tradisi di tengah arus globalisasi.
Pak Baron menceritakan, "Wayang di desa kami sudah ada sejak tahun 1955, dimulai oleh Mbah Kasimo yang belajar membuat wayang di Solorejo. Setelah kembali, beliau mengajarkan keterampilannya kepada pemuda-pemudi kampung." Dari upaya itulah, Desa Dukuh Butuh kini dikenal sebagai Desa Wisata Wayang, sebuah pencapaian hasil dari perjuangan panjang para pengrajinnya.
Tidak hanya berdiam diri pada tradisi, desa ini terus berinovasi. Tahun 2009 menjadi tonggak penting saat Pak Baron bersama warga membentuk KUBE (Kelompok Usaha Bersama) Bima. Mengapa dinamakan Bima? "Karakter Bima itu kuat, cerdas, dan pantang menyerah," jelas Pak Baron. Kelompok ini kemudian mendapatkan dukungan dari Astra pada 2018 melalui program CSR. "Kami tidak hanya menerima bantuan, tetapi juga diajak berpikir bagaimana menggerakkan empat pilar utama: pendidikan, wirausaha, lingkungan, dan kesehatan," tambahnya.
Perjuangan KUBE Bima membuahkan hasil. Desa ini kini memiliki fasilitas Joglo sebagai pusat kegiatan budaya, homestay untuk wisatawan, dan berbagai penghargaan, termasuk juara 1 Kompetisi Landmark Astra pada 2021. Prestasi ini menunjukkan bahwa budaya tradisional bisa menjadi kekuatan ekonomi yang tangguh jika dikelola dengan baik.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Pandemi COVID-19 sempat mengguncang aktivitas ekonomi mereka. Pak Baron mengenang, "Kami harus berjuang keras untuk bertahan. Wayang yang terjual menjadi makanan bersama. Tetapi, justru di masa sulit itu, persaudaraan kami semakin kuat."
Kini, wayang kulit tidak hanya menarik wisatawan lokal tetapi juga mancanegara. Pada November 2024, desa ini menerima kunjungan dari delegasi UNESCO asal Jepang dan Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa wayang kulit mampu menjadi duta budaya yang memperkenalkan Indonesia ke dunia internasional.
Melihat masa depan, Pak Baron memiliki harapan besar. "Saya ingin wayang masuk kurikulum sekolah agar generasi muda mencintai dan melestarikan budaya ini. Kami juga mengajak anak muda untuk belajar membuat wayang di sini, gratis. Saya ingin mereka tahu bahwa wayang bisa menjanjikan kehidupan yang layak," katanya penuh semangat.