Sidang perkara dugaan menempatkan keterangan palsu dalam akte otentik pada Perkumpulan Pembinaan Mental Karate (PMK) Kyokushinkai ini sudah hampir dua bulan berjalan di Pengadilan Negeri Surabaya.Â
Tahapan demi tahapan diikuti sejak pemeriksaan saksi pelapor yakni Erick Sastrodikoro, Hadi Susilo, Kenedy Kawulusan, Yunita Wijaya, Tjandra Sridjaja dan Bambang Irwanto saksi yang absen berkali-kali alias mangkir.
Dalam sidang berjilid-jilid itu dipimpin oleh hakim Ojo Sumarna SH.MH, sementara Darwis SH bertugas sebagai jaksa penuntut Umum (JPU) dengan terdakwa Liliana Herawati.
Terdakwa merupakan salah satu pendiri perkumpulan Pembinaan Mental Karate. Ia bersama dengan Tjandra Sridjaja dan Bambang Irwanto sebagai pendiri.Â
Setelah perkumpulan itu berdiri mereka melakukan kegiatan mengelola dana CSR dan arisan bagi warga perguruan. Dana arisan sendiri telah terkumpul senilai Rp11 Milyar. Dilihat ada ketidakberesan dan ketidak transparansi dalam pengelolaan dana, terdakwa membuat Yayasan Perguruan Pembinaan Mental Karate (PMK) Kyokushinkai karate-do Indonesia.
Dari sinilah kemudian keruwetan itu muncul. Kelompok Tjandra cs lalu membuat pertemuan dengan Liliyana dan menanyakan soal adanya organisasi baru dengan nama dan kegiatan yang sama. Akhirnya digelarnya rapat yang mana dalam notulennya itu memunculkan beberapa poin, salah satunya mengundurkan diri liliyana.Â
Mengenai pengunduran diri liliyana, pun telah dilakukan votting hasilnya draw.
Masalah kembali muncul, setelah dana arisan hasil kumulatif sejak 2007 itu ditanyakan terdakwa kepada  Erick Sastrodikoro Sekjen Perkumpulan. Tak dapat menjawab lebih, skenario pun diduga dibuat.Â
Dari fakta persidangan terlihat bahwa Erick diduga merupakan suruhan Tjandra Sridjaja yang kemudian melaporkan terdakwa ke Polrestabes Surabaya.Â
Laporannya itu sebetulnya minim unsur pidana 266 KUHP namun diduga ada intervensi hukum sehingga kasus ini masuk ke persidangan.
Padahal, dalam fakta-fakta persidangan, para pelapor ini tidak tahu menahu tentang pokok perkara yakni keterangan palsu dalam akte otentik , sebagaimana disampaikan Penasehat hukum terdakwa.
Sementara, keterangan palsu yang jadi dasar pelaporan itu bersumber dari akta nomor 8 tanggal  6 juni tahun 2022, yang menyatakan bahwa  terdakwa tidak pernah mengundurkan diri dari perkumpulan. Akta itu dibuat sendiri oleh terdakwa sebagai bentuk penegasan dirinya.Â
Meski begitu, para saksi pelapor mengacu pada notulen 7 november 2019, pesan pribadi whatsapp dan telepon bahwa terdakwa telah mengundurkan diri.
Jika mengacu pada notulen, ternyata semua poin tidak dijalankan. Hanya yang dijalankan mengenai pengunduran diri liliyana, mereka kemudian membuat akte 16 tanggal 18 juni 2022 dan akta 17 yang dibuat secara bersamaan tentang pengesahan struktur kepengurusan.
Rupanya, mereka terlewatkan. Dalam akte 16 dan 17 itu, tidak ada pernyataan tertulis liliana yang menyatakan mengundurkan diri dari Perkumpulan.
Karena, faktanya sebagaimana AD/ART dalam akte pendirian nomor 13 tanggal 16 tahun 2015, bahwa pengunduruan itu dilakukan jika ada surat keterangan tertulis. Sejauh ini saksi tak dapat membuktikan pengunduran diri itu.
 "Kaicho Liliana, sampai sekarang ini belum mendapatkan satu keadilan. Padahal seluruh rakyat Indonesia semuanya mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan sesuai dengan DUHAM pasal 10"
Yang sangat memprihatinkan ke-5 saksi tidak bisa membuktikan kesalahan Liliana dan bahkan saksi ke-6 Bambang Irwanto pun sudah 4 kali mangkir dengan alasan sakit sehingga sidang mengalami perpanjangan waktu dan Khaico Liliana di tahan menjadi semakin lama. Ini terlihat telah terjadi pelanggaran HAM karena seakan akan kondisi ini direkayasa untuk menekan kondisi phsykis Terdakwa.
"Sebagai tokoh publik dan politik Jawa Timur, saya sangat prihatin pada kondisi tersebut, kenapa masyarakat ingin mencari keadilan kok susah banget. Hanya karena Liliana ingin menanyakan hak kepemilikan uang arisan 300-san karateka warga perguruan yang sudah terkumpul ke penanggungjawab dana, kok malah yang bersangkutan di laporkan dan ditersangkakan yang tidak ada kaitannya dengan raibnya uang arisan Milyaran tersebut, yang seharusnya menjadi kasus utama yang harus dijerat hukum. Kebenaran harus di atas segala-galanya dan Kejahatan harus diberantas dimuka bumi Indonesia."
"Ketidak hadiran saksi ke-6 dipersidangan sebanyak 4 kali bisa patut diduga sebagai bentuk pelecehan terhadap Institusi Pengadilan yang sudah menyiapkan waktu untuk persidangan termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Khaico Liliana untuk segera mendapatkan keadilan." Kata BHS.
BHS Ketua Umum IPSI kota Surabaya mengatakan "Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya dan kebenaran menjadi prinsip utama yang harus dimenangkan. Dan diharapkan di sidang Pengadilan Negeri ini Khaico Liliana bisa mendapatkan keadilan yang seadil -- adilnya."Katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H